Gagasan Pendidikan Ibnu Sina

Sejarah Ibnu Sina

Ibnu Sina (9801037) dikenal juga sebagai Avicenna di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Hasan bin Ali bin Sīnā (dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن حسن بن علي بن سينا). Ibnu Sina lahir pada  370 H di Afsyahnah daerah dekat Bukhara[1], sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).

Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern”. George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu”. Hasil karyanya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

Kehidupannya dikenal lewat sumber-sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H / 980 M di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.

Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.

Ibnu Sina dididik di bawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman di antara para tetangganya. Dia  menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika Aristoteles, kendati sudah 40 kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li Aristho Al-Farabi (870 – 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.

Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai”. Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh-musuh Ibnu Sina menuduh dia yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Dinasti Samanid menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat-bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.

Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah. saat itu dia sedang sakit parah tetapi tetap saja bersikeras utuk mengajar anak-anak, saat dia wafat anak-anak itu merasa beruntung sekali mempunyai kesempatan untuk bertemu ke ibnu sina untuk terakhir kalinya karena saat akan dibawa ke rumah dia sudah kehilangan nyawa dan tidak dapat ditolong.[2]

Buku-buku yang pernah dikarang oleh Ibnu Sina, dihimpun dalam buku besar Essai de Bibliographie Avicenna yang ditulis oleh Pater Dominician di Kairo dan diantara beberapa karya Ibnu Sina ialah :

  1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan). Dalam kitab ini, Ibnu Sina menjelaskan cara-cara pengobatan yang pernah dilakukan oleh para dahulu hingga zamannya.[3]
  2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan). Kitab ini adalah karangan Ibnu Sina yang terpenting tentang falsafah, dan terdiri atas 4 bagian: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ilahiyyat).[4]
  3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
  4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
  5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
  6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
  7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
  8. Fi ad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi “Liber de Mineralibus” yakni tentang pemilikan (mimeral).
  9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf: risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf—Bidang Sastra Arab
  10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia – Bidang syair dan prosa
  11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. Cerita-cerita roman fiktif
  12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik
  13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
  14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
  15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.an sejati
  16. Al Insyaf tentang keadil
  17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan. Kitab ini adalah yang terakhir ditulis oleh Ibnu Sina dan yang paling indah dalam ilmu hikmah. Isinya mengandung perkataan mutiara dari pelbagai ahli pikir dan rahasia yang berharga, yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.[5]
  18. Sadidiya, tentang kedokteran.
  19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
  20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
  21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).[6]

Gagasan Pendidikan Ibnu Sina

Menurut Ibnu Sina, pendidikan atau pembelajaran itu menyangkut seluruh aspek pada diri manusia, mulai dari fisik, mental maupun moral.

Menurut Ibnu Sina “Pendidikan tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik dan apapun yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik seperti olahraga, makanan, minuman, tidur, dan kebersihan,”

Dalam pandangan Ibnu Sina,  pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter.  Menurutnya, pendidikan sangat  penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.

Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina juga mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia.

1. Masa lahir-2 tahun

Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan harus dilakukan sejak dini, yakni sejak seseorang terlahir ke muka bumi. Pendidikan bagi bayi yang baru lahir, kata dia, bisa diberikan melalui berbagai tahapan kegiatan mengasuh bayi seperti menidurkan, memandikan, menyusui, dan memberikan latihan-latihan ringan bagi bayi.

Menurutnya, bayi harus ditidurkan di ruang yang suhunya sejuk; tidak terlalu dingin dan terlalu panas. Ruang tidur bayi juga harus remang-remang, jangan terlalu terang. Menurut dia, sang ibu harus memandikan bayinya lebih dari satu kali dalam sehari, dia juga harus menyusui anaknya sendiri, dan menentukan takaran menyusui yang dibutuhkan bayi.

Ketika bayi sudah memiliki gigi, maka mulai  diperkenalkan dengan memakan makanan baru yang lebih kuat dari pada ASI. Bayi bisa memakan roti yang dicelupkan dengan air minum, susu, maupun madu. Lalu makanan tersebut diberikan kepada bayi dalam jumlah kecil dan sedikit demi sedikit dia disapih. Sebab penghentian pemberian ASI tidak bisa dilakukan secara drastis.

2. Masa kanak-kanak

Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.

Ibnu Sina menganggap anak-anak harus mendengarkan musik, sehingga saat berada dalam ayunan mereka tertidur dengan suara musik. Hal itu akan mempersiapkan anak mempelajari musik, selanjutnya dia akan tertarik untuk mempelajari puisi yang sederhana dan akhirnya membuatnya menghargai nilai-nilai kebenaran.

3. Masa Pendidikan

Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam.

Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan.

4. Masa usia 14 tahun ke atas

Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.

Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.[7]

Dari sumber lain ditulis, menurut Ibnu Sina bila seseorang anak telah berumur 6 tahun maka wajiblah diserahkan kepada guru (pendidik).[8]

Pendapat Ibnu Sina didasarkan pada alasan bahwa perasaan sosial anak dapat berkembang lagi setelah memasuki sekolah. Oleh karena itu tanggung jawab keluarga mempersiapkan perasaan anak-anak sebelum memasuki sekolah. Kehidupan keluarga yang bahagia lahir batin akan memberikan ciri-ciri hidup kejiwaan dan pribadi anak yang memudahkan berkembangnya sikap penyesuaian sosial anak di sekolah dan di luar sekolah.[9]

Implikasi Gagasan Pendidikan Ibnu Sina terhadap Pendidikan Islam

Segala sesuatu kebijakan atau gagasan terlepas dari apakah kebijakan itu bermanfa’at atau tidak, pasti mempunyai dampak bagi perkara tersebut. Pemakalah akan memberikan dampak-dampak dari gagasan Ibnu Sina ini pada pendidikan Islam pada masa kini, diantaranya :

  1. Dibaginya pendidikan dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan kemampuan intelektual pada setiap tahapannya.
  2. Pendidikan tidak hanya mengedepankan akal pikiran semata, akan tetapi harus meliputi seluruh aspek yang ada pada peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri membentuk insan kamil. Maka dibuatlah kurikulum-kurikulum yang tidak hanya mengembangkan aspek-aspek intelektual.
  3. Pengklasifikasian materi-materi yang akan diajarkan kepada peserta didik sesuai dengan tingkatan umur dan kemampuan intelektual peserta didik.
  4. Penjurusan-penjurusan dalam bidang-bidang tertentu sehingga peserta didik mempunyai keahlian tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M., 1978, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang,

Azra, Azyumardi, 1999, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Daudy, Ahmad,  1986, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang

Ghalib, Musthafa, 1979, Ibnu Sina, Beirut: Maktabatu al-Hilal.

http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina

http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/


[1] Musthafa Ghalib, Dr., Ibnu Sina, (Beirut: Maktabatu al-Hilal, 1979), hal. 17

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina

[3] Ahmad Daudy, Dr., Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), hal. 69

[4] Ibid., hal. 68

[5] Ibid., hal. 69

[6] http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html

[7]http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/

[8] H.M. Arifin M. Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 78

[9] Azyumardi Azra, MA., Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 81

FITRAH

A. Dasar Islam, Pengertian, Dimensi (Komponen) Potensi Fitrah Manusia.

Dalam pandangan  Islam, kemampuan dasar atau pembawaan disebut dengan “fitrah”. Secara etimologis, fitrah berarti sifat “sifat asal, kesucian, bakat dan pembawaan”. Secara terminologi, Muhammad Al-Jurjani menyebutkan, bahwa “fitrah” adalah : tabiat yang siap untuk menerima agama Islam.

Kata “fitrah” disebutkan dalam Al-Qur’an pada surah Al-Rum ayat 30 yang artinya sebagai berikut :

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al-Rum: 30)

Bila diinterpretasikan lebih jauh, kata “fitrah” bisa berarti bermacam- macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefinisikan oleh banyak pakar. Diantara arti-arti yang dimaksud adalah:

  1. Fitrah berarti “thuhur” (suci)
  2. Fitrah berarti “ Islam” (agama Islam)
  3. Fitrah berarti “tauhid” (mengakui keesaan Allah)
  4. Fitrah berarti “ikhlas” (murni)
  5. Fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran.
  6. Fitrah berarti “al-Gharizah” (insting)
  7. Fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah
  8. Fitrah berarti ketetapan atas manusia baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, dsb.[2]

Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan, bahwa fitrah mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham converagent. Karena “fitrah”, mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-Din al-Qayyim) yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa diubah oleh lingkungan sekitarnya.

Kalau melihat hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi:

مَا المَوْلُوْدُ إِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ. (الحديث)

Artinya: “Tidak ada anak manusia dilahirkan kecuali atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanya mendidiknya menjadi yahudi atau nasrani” (H.R. Abu Hurairah).[3]

Komponen-komponen potensial fitrah:

  1. Kemampuan dasar untuk beragama Islam(ad-Dinul Qayyimah).
  2. Muwahhib (bakat) dan Qabiliyyat ( tendensi atau kecenderungan).
  3. Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam.
  4. Kemampuan dasar untuk beragama sacara umum tidak hanya terbatas pada agama Islam.
  5. Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun.[4]

Diagram Fitrah

Diagram di atas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk berkembang.
  2. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
  3. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
  4. Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :
  5. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
  6. Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
  7. Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
  8. Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
  9. Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan/diwariskan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
  10. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[5]

B. Urgensi Pendidikan (Pengaruh Lingkungan) Terhadap Aktualisasi Potensi Fitrah Manusia.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, dikemukakan tentang lingkungan pendidikan yaitu sebagai berikut :

  1. Satuan pendidikan melaksanakan kegiatan belajar yang dilakukan di sekolah atau di luar sekolah.
  2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan.
  3. Saluran pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis.

Sebagai upaya pembentukan potensi umat, hendaknya umat Islam selalu membentuk hubungan tarbiyah Islamiyah, yaitu suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keIslaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam yang baik, guna mengembangkan sumber daya manusia yang baik pula.

Perkembangan potensi anak didik, tidak akan pernah terlepas dari pengaruh lingkungan; baik itu positif maupun negatif. Lingkungan bisa bersifat positif apabila ia menjadi faktor penunjang dan pendorong berkembangnya potensi anak didik. Semisal anak yang memiliki potensi menjadi seorang qori dan ia tinggal di lingkungan para qori, bahkan mungkin keluarganya juga banyak yang menjadi qori, maka kemungkinan besar anak ini akan mudah dalam mengoptimalkan dan mengaktualisasikan potensi/bakatnya tersebut. Sedangkan  lingkungan akan bersifat negatif apabila lingkungan tersebut tidak dapat menunjang dan menjadi pendorong potensi seorang anak didik, bahkan lingkungan tersebut cenderung mengkerdilkan potensi anak didik. Sebagai contoh anak yang berpotensi jadi sebagai qori tetapi dia hidup di lingkungan penuh maksiat, dikekang kemiskinan dan tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, maka ia akan sulit mengembangkan potensinya, kecuali jika ia berpindah dari lingkungan tersebut dan mencari guru yang mampu membimbingnya sehingga potensinya akan berkembang. Begitulah betapa vitalnya lingkungan dalam peranannya mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi anak didik.

C. Ilmu Dalam Tradisi Islam dan Klasifikasinya.

Akal menghasilkan ilmu dan ilmu berkembang dalam masa keemasan sejarah Islam. Supaya dapat dipelajari dengan baik dan benar, ilmu dapat diklasifikasikan (digolong-golongkan). Klasifikasi ilmu, karena itu merupakan salah satu kunci untuk memahami tradisi intelektual Islam. Sejak Al-Kindi di abad ketiga H/ kesembilan M hingga Syah Waliullah dari Delhi pada abad kedua belas H/ kedelapan belas M, generasi demi generasi sarjana muslim telah mencurahkan fikiran dan kemampuannya untuk membuat klasifikasi ilmu dalam Islam secara rinci.

  1. Menurut Al-farabi, klasifikasi dan perincian ilmu adalah sebagai berikut: (1) ilmu bahasa.(2) ilmu logika. (3) ilmu-ilmu matematis. (4) metafisika. (5) ilmu politik, ilmu fiqih dan kalam.
  2. Dalam berbagai karyanya al-Ghozali menyebut empat klasifikasi ilmu yaitu: (1) ilmu-ilmu teoritis dan praktis. (2) ilmu yang dihadirkan dan ilmu yang dicapai. (3) ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu intelektual. (4) ilmu fardhu ‘ain (kewajiban setiap orang) dan ilmu fardhu  kifayah ( kewajiban masyarakat)
  3. Qutubuddin al-Syirazi menyajikan klasifiaksi ilmu sebagai berikut: (1) Ilmu-ilmu filosofis atau kefilsafatan. (2) Ilmu-ilmu non filosofis, ilmu-ilmu ini diistilahkannya sebagai ilmu-ilmu relijius.[6]

Setelah klasifikasi ilmu tersebut, dalam uraian berikut ditelusuri sepintas lalu kedudukan ilmu dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an seperti diisyaratkan dalam wahyu pertama, ilmu dibagi dua. Pertama adalah ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamakan ‘ilm ladunni. Dasarnya ada di ujung surat al-kahfi yang terjemahannya sebagai berikut: “Lalu mereka bertemu dengan hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugrahkan kepadanya (sesuatu) dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. Ilmu ini disebut ilmu Ilahi. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamakan ilmu kasbi atau ilmu insani.[7]

Firman Allah dalam surat al-isra ayat 85 yang artinya: “Kamu tidak diberi ilmu (pengetahuan) kecuali sedikit”. Dari kutipan ayat diatas jelas bahwa pengetahuan manusia  amatlah terbatas. Walaupun ilmu yang diberi Allah sedikit, namun manusia harus memanfaatkannya untuk kemaslahatan (sesuatu yang mendatangkan kebaikan) manusia.[8]

Al-Qur’an memerintahkan untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebagaimana dilukiskan Rasulullah dalam sunnahnya, “ada dua keinginan yang tidak pernah terpuaskan, yaitu keinginan menuntut atau mencari ilmu dan keinginan memperoleh atau mencari harta”.

D. Isi Pendidikan Islam.

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan pada ajaran Islam. Karena ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pendapat para ulama serta warisan sejarah, maka pendidikan Islam pun mendasarkan diri pada Al-Qur’an, As-Sunnah, pendapat para ulama (ijma’) serta warisan sejarah tersebut. Sejalan dengan hal itu, Islam juga memandang anak didik sebagai ‘abdullah yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrah (potensi) masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke titik optimal kemampuan fitrahnya.[9]

Isi pendidikan Islam hendaknya selalu sejalan dengan pendidikan Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasy, pendidikan budi pekerti adalah jiwa pendidikan Islam. Hal ini nampak sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. Yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Isi pendidikan Islam hendaknya juga dapat mengakomodir semua kebutuhan anak didik baik kebutuhan jasmani, maupun rohani. Seorang pendidik harus pandai menghubungkan antara materi yang semata bersifat pengetahuan dengan materi yang bersifat tauhid, sehingga anak didik bukan hanya memperoleh knowledge, tapi juga mendapat akhlak. Bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut agar sesuai syari’at Islam. Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu yang harus dipelajari di sekolah, yaitu :

  1. Ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fiqh, hadist dan tafsir.
  2. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafaz-lafaznya karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
  3. Ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, ilmu matematika, teknologi, dsb.
  4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan bebrapa cabang filsafat.

Tidak berbeda jauh menurut Ibnu Khaldun isi pendidikan Islam yang harus diberikan kepada anak didik meliputi :

  1. Ilmu syari’ah dengan berbagai jenisnya.
  2. Ilmu filsafat, seperti ilmu alam dan tauhid (ketuhanan).
  3. Ilmu alat yang membantu ilmu agama, seperti ilmu bahasa dan gramatikal dsb.
  4. Ilmu alat yang membantu ilmu filsafat seperti ilmu manthiq.[10]

Omar Muhammad At-Taumy Al-Syaibani menyebutkan lima ciri kurikulum pendidikan Islam yaitu :

  1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuannya, kandungan, metode, alat dan tekniknya bercorak agama.
  2. Meluaskan cakupannya dan menyeluruhkan kandungannya, kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran yang menyeluruh. Disamping itu juga, luas dalam perhatiannya. Ia (kurikulum) memperhatikan bimbingan dan pengembangan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial dan spiritual.
  3. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung dalm kurikulum yang beguna bagi pengembangan individual dan sosial.
  4. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran.
  5. Kurikulum yang disusun harus selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik.

Segala uraian diatas, apabila dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam, tentunya akan sangat memajukan sumberdaya manusia di kalangan umat Islam yang tidak hanya mengoptimalkan potensi teoritis tetapi juga praktis.[11]

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Armai, Dr. MA., 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers

Arifin, M., Prof. H. M. Ed., 1994, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara

Daud Ali, Mohammad, Prof. H. S.H., 2005, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Nata, Abuddin, Prof. Dr. H. MA, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama


[1] Armai Arief, Dr. MA., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002, Cetakan Pertama), hal. 3

[2] Ibid., hal. 6-7

[3] Ibid., hal. 8

[4] M. Arifin, Prof. H. M. Ed., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. Ketiga), hal. 97-100

[5] Ibid., hal. 100-103

[6] Mohammad Daud Ali, Prof. H. S.H., Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 388-393

[7] Ibid., hal. 394

[8] Ibid., hal. 395

[9] Abuddin Nata, Prof. Dr. H. MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, cet. 1), hal. 131

[10] Ibid., hal. 225

[11] Ibid., hal.