Sejarah Ibnu Sina
Ibnu Sina (980–1037) dikenal juga sebagai Avicenna di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Hasan bin Ali bin Sīnā (dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن حسن بن علي بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 370 H di Afsyahnah daerah dekat Bukhara[1], sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern”. George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu”. Hasil karyanya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Kehidupannya dikenal lewat sumber-sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H / 980 M di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibnu Sina dididik di bawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman di antara para tetangganya. Dia menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika Aristoteles, kendati sudah 40 kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li Aristho Al-Farabi (870 – 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai”. Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh-musuh Ibnu Sina menuduh dia yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Dinasti Samanid menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat-bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.
Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah. saat itu dia sedang sakit parah tetapi tetap saja bersikeras utuk mengajar anak-anak, saat dia wafat anak-anak itu merasa beruntung sekali mempunyai kesempatan untuk bertemu ke ibnu sina untuk terakhir kalinya karena saat akan dibawa ke rumah dia sudah kehilangan nyawa dan tidak dapat ditolong.[2]
Buku-buku yang pernah dikarang oleh Ibnu Sina, dihimpun dalam buku besar Essai de Bibliographie Avicenna yang ditulis oleh Pater Dominician di Kairo dan diantara beberapa karya Ibnu Sina ialah :
- Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan). Dalam kitab ini, Ibnu Sina menjelaskan cara-cara pengobatan yang pernah dilakukan oleh para dahulu hingga zamannya.[3]
- Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan). Kitab ini adalah karangan Ibnu Sina yang terpenting tentang falsafah, dan terdiri atas 4 bagian: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ilahiyyat).[4]
- An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
- Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
- Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
- Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
- Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
- Fi ad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi “Liber de Mineralibus” yakni tentang pemilikan (mimeral).
- Risalah fi Asab Huduts al-Huruf: risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf—Bidang Sastra Arab
- Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia – Bidang syair dan prosa
- Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. Cerita-cerita roman fiktif
- Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik
- Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
- Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
- Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.an sejati
- Al Insyaf tentang keadil
- Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan. Kitab ini adalah yang terakhir ditulis oleh Ibnu Sina dan yang paling indah dalam ilmu hikmah. Isinya mengandung perkataan mutiara dari pelbagai ahli pikir dan rahasia yang berharga, yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.[5]
- Sadidiya, tentang kedokteran.
- Danesh Nameh, tentang filsafat.
- Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
- Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).[6]
Gagasan Pendidikan Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, pendidikan atau pembelajaran itu menyangkut seluruh aspek pada diri manusia, mulai dari fisik, mental maupun moral.
Menurut Ibnu Sina “Pendidikan tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik dan apapun yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik seperti olahraga, makanan, minuman, tidur, dan kebersihan,”
Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter. Menurutnya, pendidikan sangat penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.
Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina juga mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia.
1. Masa lahir-2 tahun
Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan harus dilakukan sejak dini, yakni sejak seseorang terlahir ke muka bumi. Pendidikan bagi bayi yang baru lahir, kata dia, bisa diberikan melalui berbagai tahapan kegiatan mengasuh bayi seperti menidurkan, memandikan, menyusui, dan memberikan latihan-latihan ringan bagi bayi.
Menurutnya, bayi harus ditidurkan di ruang yang suhunya sejuk; tidak terlalu dingin dan terlalu panas. Ruang tidur bayi juga harus remang-remang, jangan terlalu terang. Menurut dia, sang ibu harus memandikan bayinya lebih dari satu kali dalam sehari, dia juga harus menyusui anaknya sendiri, dan menentukan takaran menyusui yang dibutuhkan bayi.
Ketika bayi sudah memiliki gigi, maka mulai diperkenalkan dengan memakan makanan baru yang lebih kuat dari pada ASI. Bayi bisa memakan roti yang dicelupkan dengan air minum, susu, maupun madu. Lalu makanan tersebut diberikan kepada bayi dalam jumlah kecil dan sedikit demi sedikit dia disapih. Sebab penghentian pemberian ASI tidak bisa dilakukan secara drastis.
2. Masa kanak-kanak
Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.
Ibnu Sina menganggap anak-anak harus mendengarkan musik, sehingga saat berada dalam ayunan mereka tertidur dengan suara musik. Hal itu akan mempersiapkan anak mempelajari musik, selanjutnya dia akan tertarik untuk mempelajari puisi yang sederhana dan akhirnya membuatnya menghargai nilai-nilai kebenaran.
3. Masa Pendidikan
Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam.
Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan.
4. Masa usia 14 tahun ke atas
Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.
Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.[7]
Dari sumber lain ditulis, menurut Ibnu Sina bila seseorang anak telah berumur 6 tahun maka wajiblah diserahkan kepada guru (pendidik).[8]
Pendapat Ibnu Sina didasarkan pada alasan bahwa perasaan sosial anak dapat berkembang lagi setelah memasuki sekolah. Oleh karena itu tanggung jawab keluarga mempersiapkan perasaan anak-anak sebelum memasuki sekolah. Kehidupan keluarga yang bahagia lahir batin akan memberikan ciri-ciri hidup kejiwaan dan pribadi anak yang memudahkan berkembangnya sikap penyesuaian sosial anak di sekolah dan di luar sekolah.[9]
Implikasi Gagasan Pendidikan Ibnu Sina terhadap Pendidikan Islam
Segala sesuatu kebijakan atau gagasan terlepas dari apakah kebijakan itu bermanfa’at atau tidak, pasti mempunyai dampak bagi perkara tersebut. Pemakalah akan memberikan dampak-dampak dari gagasan Ibnu Sina ini pada pendidikan Islam pada masa kini, diantaranya :
- Dibaginya pendidikan dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan kemampuan intelektual pada setiap tahapannya.
- Pendidikan tidak hanya mengedepankan akal pikiran semata, akan tetapi harus meliputi seluruh aspek yang ada pada peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri membentuk insan kamil. Maka dibuatlah kurikulum-kurikulum yang tidak hanya mengembangkan aspek-aspek intelektual.
- Pengklasifikasian materi-materi yang akan diajarkan kepada peserta didik sesuai dengan tingkatan umur dan kemampuan intelektual peserta didik.
- Penjurusan-penjurusan dalam bidang-bidang tertentu sehingga peserta didik mempunyai keahlian tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, H.M., 1978, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang,
Azra, Azyumardi, 1999, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Daudy, Ahmad, 1986, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Ghalib, Musthafa, 1979, Ibnu Sina, Beirut: Maktabatu al-Hilal.
http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina
http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/
[1] Musthafa Ghalib, Dr., Ibnu Sina, (Beirut: Maktabatu al-Hilal, 1979), hal. 17
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina
[3] Ahmad Daudy, Dr., Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), hal. 69
[4] Ibid., hal. 68
[5] Ibid., hal. 69
[6] http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html
[7]http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/
[8] H.M. Arifin M. Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 78
[9] Azyumardi Azra, MA., Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 81