CIRI ORANG YANG BERTAQWA

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Hadirin jama’ah rahimakumullah…

Salah satu perintah Allah swt. yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. adalah agar kita, orang-orang mukmin, berusaha mencapai tingkat/derajat taqwa. Taqwa kepada Allah swt. begitu penting, karena dengan taqwa ini, seseorang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. Taqwa adalah buah dari pohon ibadah. Ia merupakan tujuan utama dari setiap perintah ibadah kepada Allah swt. Taqwa yang sesungguhnya hanya diperoleh dengan cara berupaya secara maksimal melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangannya. Ketaatan ini adalah ketaatan yang tulus, tidak dicampuri oleh riya atau pamrih.

Banyak sekali ayat-ayat Allah maupun hadis Nabi saw. yang menekankan perintah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Di antarnya adalah  firman Allah swt. :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam” (QS. Ali Imron: 102)

Firman Allah tentang kedudukan orang-orang yang bertaqwa: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan”(QS. An-Naba: 31), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS. Ath Thalaq: 2-3)

Taqwa kepada Allah artinya mempunyai kesadaran akan kehadiran-Nya. Allah selalu dekat dan menyertai kita, selalu mengawasi setiap perbuatan kita sehingga menimbulkan kesadaran agar kita senantiasa berhati-hati, jangan sampai menyimpang  dari tuntunan, ajaran, dan ketentuan-ketentuan Allah swt. dalam kehidupan  keseharian kita. Hal tersebut akan mendatangkan ketentraman dan ketenangan hati serta kesejahteraan dan keselamatan baik dalam kehidupan di dunia yang sebentar ini, maupun dalam kehidupan di akhirat yang langgeng kelak.

Apakah kita sudah berhasil mencapai tingkat taqwa tersebut? Hanya Allah swt. dan kita masing-masinglah yang mengetahuinya dengan tepat.

Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan taqwa adalah surah al-A’raf ayat 26 sebagai berikut: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa telah menyediakan dua macam pakaian bagi manusia:

Pertama, pakaian lahir yang mempunyai 2 (dua) fungsi pokok, yaitu untuk menutupi aurat atau melindungi fisik orang dari bahaya yang datang dari luar dan (fungsi kedua) sebagai hiasan.

Para ulama menjelaskan bahwa pakaian lahir yang disebut dalam ayat itu, di samping pakaian yang kita kenakan sehari-hari, berarti pula semua kenikmatan duniawi yang dianugrahkan Tuhan kepada kita yang memang kita butuhkan dalam hidup ini. Misalnya kesehatan badan, penguasaan ilmu pengetahuan yang luas dan dalam, perolehan rezeki/harta yang cukup, dan kekuasaan duniawi. Itu semua adalah perkara lahir yang dibuthkan manusia dalam hidupnya di dunia ini.

Kedua, pakaian batin, atau dalam ayat di atas disebut “pakaian taqwa”.  Pakaian taqwa ini –menurut ayat di atas- ternyata lebih baik dan lebih pentng ketimbang pakaian lahir. Ini karena pakaian taqwa akan memperindah ruhani, hati dan jiwa manusia. Pakaian taqwa akan menentukan apakah pakaian lahir tadi bermanfaat atau tidak. Banyak orang berpakaian lahir, tapai tidak berpakaian taqwa, maka pakaian lahir tadi tidak memberikan manfaat apa-apa untuknya di dunia maupun di akhirat.

Al-Hasan al-Bashri, ulama besar yang hidup pada akhir abad VII M, dalam telaahnya tentang pengertian taqwa yang terkandung dalam surah al-A’raf ayat 26 di atas, mengungkapkan ciri-ciri orang yag bertaqwa kepada swt., sebagai berikut:

  1. Teguh dalam keyakinan dan bijaksana dalam pelaksanaannya;
  2. Tampak wibawanya karena semua aktivitas hidupnya dilandasi kebenaran dan kejujuran;
  3. Menonjol rasa puasnya dalam perolehan rezeki sesuai dengan usaha dan kemampuannya;
  4. Senantiasa bersih dan berhias walaupun tidak mampu;
  5. selalu cermat dalam perencanaan dan bergaya hidup sederhana walaupun mampu;
  6. Murah hati dan murah tangan
  7. Tidak menghabiskan waktu dalam perbuatan yang tidak bermanfaat;
  8. Disiplin dalam tugasnya;
  9. Tinggi dedikasinya;
  10. Terpelihara identitas muslimnya (setiap perbuatannya berorientasi kepada terciptanya kemaslahatan/kemanfaatan masyarakat);
  11. Tidak pernah menuntut yang bukan haknya serta tidak menahan hak orang lain;
  12. Ketika ditegur oleh seseorang segera intropeksi. Kalau ternyata teguran tersebut benar maka dia menyesal dan mohon ampun kepada Allah swt. serta minta maaf kepada orang yang tertimpa oleh kesalahannya itu;

Jika kita mempunyai ciri-ciri seperti di atas, berarti kita pantas merasa telah mencapai tingkat ketaqwaan keapda Allah swt. dan tentu harus kita pelihara serta tingkatkan terus menerus. Pakaian taqwa dengan ciri-ciri seperti di atas yang telah kita perjuangkan; menenunnya/merajutnya dengan susah payah sepanjang hidup kita ini janganlah dirusak lagi. Semoga Allah swt. menuntun kita masing-masing untuk mencapai tingkat taqwallah seperti di atas.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ. أَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ….

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN MA

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DAN BAHASA ARAB MADRASAH ALIYAH


1.   Al-Qur’an-Hadis
Memahami isi pokok al-Qur’an, fungsi, dan bukti-bukti kemurniannya, istilah-istilah hadis, fungsi hadis terhadap al-Qur’an, pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kualitasnya, serta memahami dan mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tentang manusia dan tanggung jawabnya di muka bumi, demokrasi serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.   Akidah-Akhlak

  • Memahami istilah-istilah akidah, prinsip-prinsip, aliran-aliran dan metode peningkatan kualitas akidah serta meningkatkan kualitas keimanan melalui pemahaman dan pengahayatan al-asma’ al-husna serta penerapan perilaku bertauhid dalam kehidupan.
  • Memahami istilah-istilah akhlak dan tasawuf, menerapkan metode peningkatan kualitas akhlak, serta membiasakan perilaku terpuji dan menghindari perilaku tercela.

3.   Fikih
Memahami dan menerapkan sumber hukum Islam dan hukum taklifi, prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam, fikih ibadah, mu’amalah, munakahat, mawaris, jinayah, siyasah, serta dasar-dasar istinbath dan kaidah usul fikih.

4.   Sejarah Kebudayaan Islam

  • Memahami dan mengambil ibrah sejarah dakwah Nabi Muhammad pada periode Makkah dan periode Madinah, masalah kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat,  perkembangan Islam pada abad klasik/zaman keemaasan (650 – 1250 M), abad pertengahan /zaman kemunduran (1250 M – 1800 M), masa modern/zaman kebangkitan (1800-sekarang), serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
  • Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni.
  • Meneladani tokoh-tokoh Islam yang berprestasi dalam perkembangan sejarah kebudayaan/peradaban Islam.

5.   Bahasa Arab

  •  Menyimak
    Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja , kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, kebudayaan Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.
  • Berbicara
    Mengungkapkan secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja, kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, kebudayaan Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.
  • Membaca
    Membaca dan memahami makna wacana tertulis paparan atau dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja, kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, hari-hari besar Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.
  • Menulis
    Mengungkapkan secara tertulis berbentuk paparan atau dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja, kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, hari-hari besar Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.

6.   Bahasa Arab (Program Bahasa)

  • Menyimak
    Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog tentang identitas diri, kehidupan madrasah, kehidupan keluarga, kehidupan sehari-hari, hobi, wisata, layanan umum, dan pekerjaan.
  • Berbicara
    Mengungkapkan secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang identitas diri, kehidupan madrasah, kehidupan keluarga, kehidupan sehari-hari, hobi, wisata, layanan umum, dan pekerjaan.
  • Membaca
    Membaca dan memahami makna wacana tertulis paparan atau dialog tentang identitas diri, kehidupan madrasah, kehidupan keluarga, kehidupan sehari-hari, hobi, wisata, layanan umum, dan pekerjaan.
  • Menulis
    Mengungkapkan secara tertulis berbentuk paparan atau dialog tentang identitas diri, kehidupan madrasah, kehidupan keluarga, kehidupan sehari-hari, hobi, wisata, layanan umum, dan pekerjaan.

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN MTs

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BAHASA ARAB
MADRASAH TSANAWIYAH

 

1.   Al-Qur’an-Hadis

  • Memahami dan mencintai al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup umat Islam.
  • Meningkatkan pemahaman al-Qur’an, al-Faatihah, dan surat pendek pilihan melalui upaya penerapan cara membacanya, menangkap maknanya, memahami kandungan isinya, dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan.
  • Menghafal dan memahami makna hadis-hadis yang terkait dengan tema isi kandungan surat atau ayat sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

2.   Akidah-Akhlak

  • Meningkatkan pemahaman dan keyakinan terhadap rukun iman melalui pembuktian dengan dalil naqli dan aqli, serta pemahaman dan penghayatan terhadap al-asma’ al-husna dengan menunjukkan ciri-ciri/tanda-tanda perilaku seseorang dalam fenomena kehidupan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
  • Membiasakan akhlak terpuji seperti ikhlas, taat, khauf, taubat, tawakal, ikhtiar, sabar, syukur, qana’ah, tawadhu’, husnuzh-zhan, tasamuh, ta’awun, berilmu, kreatif, produktif dan pergaulan remaja, serta menghindari akhlak tercela seperti riya, nifak, ananiah, putus asa, marah, tamak, takabur, hasad, dendam, ghibah, fitnah, dan namimah.

3.   Fikih

Memahami ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah mahdah dan muamalah serta dapat mempraktikkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.

4.   Sejarah Kebudayaan Islam

  •  Meningkatkan pengenalan dan kemampuan mengambil ibrah terhadap peristiwa penting sejarah kebudayaan Islam mulai perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW dan para khulafaurrasyidin, Bani Umaiyah, Abbasiyah, Al-Ayyubiyah sampai dengan perkembangan Islam di Indonesia.
  • Mengapresiasi fakta dan makna peristiwa-peristiwa bersejarah dan mengaitkannya dengan fenomena kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni.
  • Meneladani nilai-nilai dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam peristiwa bersejarah.

5.   Bahasa Arab

  •  Menyimak
    Mampu memahami wacana lisan  melalui kegiatan mendengarkan (berbentuk gagasan atau dialog sederhana) tentang identitas diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah, aktivitas di rumah, profesi, cita-cita,  kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar kita.
  • Berbicara
    Mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan, pengalaman  serta informasi melalui kegiatan bercerita dan bertanya jawab tentang identitas diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah, aktivitas di rumah, profesi, cita-cita,  kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar kita.
  • Membaca
    Mampu memahami berbagai  ragam teks tulis  dalam bentuk gagasan atau dialog sederhana, melalui kegiatan membaca, menganalisis dan menemukan pokok pikiran  tentang identitas diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah, aktivitas di rumah, profesi, cita-cita,  kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar kita.
  • Menulis
    Mampu mengungkapkan pikiran, gagasan,  perasaan, pengalaman dan  informasi melalui kegiatan menulis pikiran  tentang identitas diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah, aktivitas di rumah, profesi, cita-cita,  kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar kita.

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN MI

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR       TAHUN 2008

 TENTANG

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN DAN STANDAR ISI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BAHASA ARAB DI MADRASAH


BAB I

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BAHASA ARAB
MADRASAH IBTIDAIYAH

 

1.   Al-Qur’an-Hadis

 a.    Membaca, menghafal, menulis, dan memahami  surat-surat pendek dalam al-Qur’an  surat al-Faatihah, an-Naas sampai dengan surat ad-Dhuhaa.

b.    Menghafal, memahami arti, dan mengamalkan hadis-hadis pilihan tentang akhlak dan amal salih.

 

2.   Akidah-Akhlak

 Mengenal dan meyakini rukun iman dari iman kepada Allah sampai dengan iman kepada Qada dan Qadar melalui pembiasaan dalam mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah, pengenalan, pemahaman sederhana, dan penghayatan terhadap rukun iman dan al-asma’ al-husna, serta pembiasaan dalam pengamalan akhlak terpuji dan adab Islami serta menjauhi akhlak tercela dalam perilaku sehari-hari.

3.   Fikih

 Mengenal dan melaksanakan hukum Islam yang berkaitan dengan rukun Islam mulai dari ketentuan dan tata cara pelaksanaan taharah, salat, puasa, zakat, sampai dengan pelaksanaan ibadah hají, serta ketentuan tentang makanan dan minuman, khitan, kurban, dan cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.

 

 

 4.   Sejarah Kebudayaan Islam

 Mengenal, mengidentifikasi, meneladani, dan mengambil ibrah dari sejarah Arab pra- Islam, sejarah Rasulullah SAW, khulafaurrasyidin, serta perjuangan tokoh-tokoh agama Islam di daerah masing-masing.

 

 5.   Bahasa Arab

 a.    Menyimak

Memahami wacana lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang perkenalan dan  hal-hal yang ada di lingkungan rumah maupun madrasah.

b.    Berbicara

Mengungkapkan makna secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog tentang  perkenalan dan  hal-hal yang ada di lingkungan rumah maupun madrasah.

c.    Membaca

Membaca dan memahami makna  wacana tertulis dalam bentuk paparan atau dialog tentang perkenalan dan  hal-hal yang ada di lingkungan rumah maupun madrasah.

d.    Menulis

Menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.

Tafsir Al-Fatihah Ayat 1-7

­­BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah. Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah. Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.

Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat. Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh. Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup). asy-Syafiyah (yang menyembuhkan), dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).

B. Perumusan Masalah

Makalah ini terdiri dari 4 sub bab materi :

  1. Ayat dan terjemahannya
  2. Mufradat
  3. Tafsir
  4. Komentar pemakalah

C. Prosedur Penyusunan Makalah

Semua data-data yang berhubungan langsung  dengan pembahasan ini dikumpulkan dari buku-buku dan sumber-sumber lain yang bisa dipercaya dan diserap sedemikian rupa untuk dijadikan referensi dalam penyusunan makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an dan Terjemahannya

  1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
  2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.[3]
  3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
  5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].
  6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
  7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[9].

B. Mufradat

  1. ملك                  : Pemilik; Penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya.
  2. مغضوب           : Berasal dari kata (       ) yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman makna, namun kesemuanya mengesankan sesuatu yang bersifat keras, kokoh dan tegas.
  3. الدين يوم       : Hari Pembalasan
  4. إياك                 : Hanya Padamu
  5. صراط              : Jalan

C. Tafsir

(بسم الله) yakni: Aku memulai dengan segenap nama Allah Ta’ala, karena lafaz (اسم) mufrad mudhaf (kata tunggal bersandar) maka mencakup segenap nama-nama Allah (yang husna).

(الله)adalah al-ma’lu-al-ma’bud (yang diibadahi), yang berhak ditunggalkan dalam peribadahan, karena sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya dari sifat-sifat uluhiyah, dan ia merupakan sifat-sifat kesempurnaan.

(الرحمن الرحيم) dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki rahmat yang luas dan besar yang mencakup segala sesuatu dan semua yang hidup dan Dia tetapkan untuk orang-orang yang bertakwa yang mengikuti nabi-nabi-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka mendapatkan rahmat yang mutlak dan selain mereka mendapatkan bagian dari rahmat-Nya. Dan ketahuilah bahwa diantara kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh salaf (pendahulu) ummat ini dan imam-imam mereka: beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dan beriman dengan hukum-hukum sifat. Mereka mengimani—misalnya—bahwa  Allah rahman rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang) yang memiliki sifat rahmat (kasih sayang) yang Dia curahkan kepada al marhum (yang Dia kasih-sayangi). Maka nikmat-nikmat seluruhnya merupakan buah dari rahmat-Nya. Dan demikianlah pada seluruh sifat. Kita katakan pada Al Alim (Yang Maha Mengetahui); bahwa Dia Maha Mengetahui, memiliki pengetahuan, dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Qadir (Yang Maha Berkuasa), memiliki kekuasaan, berkuasa atas segala sesuatu.[10]

مَالِكِ يَوْمِ الدِّين Dalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan  7Î=»tB, huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan 7Î=tB, huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[11]

Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.”  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan[12]. Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan neraka.

Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan? Bukankah Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan, semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali hanya milik-Nya semata.  Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang berbunyi: Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Al-Furqan; 26).[13]

Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir, atau hari pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, kehidupan masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi tidak akan terwujud selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada dalam diri mereka; selama hati mereka belum betul-betul menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia bukanlah akhir dari apa yang akan mereka dapatkan.[14]

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[15]

Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[16]

Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata, manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-Nya atau tidak; beriman atau kafir kepada-Nya; taat atau membangkang kepada-Nya. Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya jadi seperti malaikat yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah membangkang pada-Nya. Namun, Allah tetap memberikan kebebasan untuk memilih pada diri manusia agar manusia betul-betul menyembah Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan. Menyembah Allah karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang layak dan seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan merasuk dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta kepada-Nya.

Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”, Allah lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain Diri-Mu, dan kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”. Permintaan tolong hanya kepada Allah akan menghindarkan kita dari hinanya kehidupan dunia. Saat kita meminta tolong kepada selain Allah, misalnya manusia, maka kita sebenarnya meminta pertolongan kepada makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia bisa saja memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam sekejap bisa menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki kemampuan apapun.

Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari hinanya kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati; Maha Kuat dan tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh apapun serta siapapun. Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada Allah, Dia pun akan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan saat kita lemah. Dia akan memberi petunjuk saat kita kebingungan memilih antara kebenaran dan kebatilan.

Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[17]

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.

Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط).[18] Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.

Kataاهْدِنَا  berasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Thahir Ibn Asyur membagi hidayah kepada empat tingkatan. Pertama, apa yang dinamainya al-quwa al-muharrikah wa al-mudrikah yakni potensi penggerak dan tahu. Melalui potensi ini mengantar seseorang dapat memelihara wujudnya.

Kedua, adalah petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang haq dan batil, yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan teoritis.

Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijangkau oleh analisa dan aneka argumentasi akliyah, atau yang bila dusahakan akan sangat memberatkan manusia. Hidayah ini dianugerahkan Allah Swt. Dengan mengutus para rasul-Nya serta menurunkan kitab-kitab Nya dan inilah yang diisyaratkan oleh firman-Nya: “kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami”.

Keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah swt. Adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendikiawan. Ini diperoleh melalui wahyu atau ilham yang shahih, atau limpahan kecerahan (tajalliyat) yang tercurah dari Allah swt.[19]

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غير المغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.

D. Komentar Penulis

Al-Fatihah yang begitu singkat, memiliki artian yang sangat luas dan menggambarkan secara umum isi-isi dalam Al-Qur’an. Dalam buku Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab, Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surat menguraikan 5 persoalan pokok diantaranya: 1) Tauhid; 2) janji dan Ancaman, 3) Ibadah, 4) penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya dan 5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.

Dalam tujuh ayat tersebut, tergambar 5 pokok isi Al-Qur’an. Kelima pokok tersebut adalah Tauhid yang terdapat pada ayat kedua dan kelima; janji dan ancaman pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh; Ibadah terdapat pada ayat kelima dan ketujuh; sejarah masa lampau dan penjelasan tentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat tersirat pada ayat ketujuh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Kariem

As-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir asy-Sya’rawi. juz 1

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. juz 1

Qutb, Sayyid. Fi Zhilal al-Qur’an. juz 1

Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati

Thanthawi, Muhammad Sayyid. at-Tafsir al-Wasith. juz 1


[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.

[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). ‘Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu

[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.

[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa’ dan sebagainya.

[6] Na’budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[7] Nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri

[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.

[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

[10] Diterjemahkan dari Taysir Karimir-Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan

[11] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, juz 1, hal. 5.

[15] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.

[16] Ibid

[17] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 6.

[18] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 1,  hal. 136.

[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007). Hal. 65

­­BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekkah. Namun menurut pendapat sebagian ulama, seperti Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah. Ia merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali diturunkan adalah Surah al-Alaq.

Surat ini dinamakan al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat. Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas, al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah sebutan untuk al-Lauh al-Mahfuzh. Selain kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama, di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup). asy-Syafiyah (yang menyembuhkan), dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang).

B.Perumusan Masalah

Makalah ini terdiri dari 4 sub bab materi :

1.Ayat dan terjemahannya

2.Mufradat

3.Tafsir

4.Komentar pemakalah

C.Prosedur Penyusunan Makalah

Semua data-data yang berhubungan langsung dengan pembahasan ini dikumpulkan dari buku-buku dan sumber-sumber lain yang bisa dipercaya dan diserap sedemikian rupa untuk dijadikan referensi dalam penyusunan makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Al-Qur’an dan Terjemahannya

ÉOó¡Î0«!$#Ç`»uH÷q§9$#ÉOŠÏm§9$#ÇÊÈ߉ôJysø9$#¬!Å_Uu‘šúüÏJn=»yèø9$#ÇËÈÇ`»uH÷q§9$#ÉOŠÏm§9$#ÇÌÈÅ7Î=»tBÏQöqtƒÉúïÏe$!$#ÇÍÈx‚$­ƒÎ)߉ç7÷ètRy‚$­ƒÎ)urÚúüÏètGó¡nSÇÎÈ$tRω÷d$#xÞºuŽÅ_Ç9$#tLìÉ)tGó¡ßJø9$#ÇÏÈxÞºuŽÅÀtûïÏ%©!$#|MôJyè÷Rr&öNÎgø‹n=tãΎöxîÅUqàÒøóyJø9$#óOÎgø‹n=tæŸwurtûüÏj9!$žÒ9$#ÇÐÈ

1.Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].

2.Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.[3]

3.Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

4.Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].

5.Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].

6.Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,

7.(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat[9].

B.Mufradat

1.ملك : Pemilik; Penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya.

2.مغضوب : Berasal dari kata ( ) yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman makna, namun kesemuanya mengesankan sesuatu yang bersifat keras, kokoh dan tegas.

3.الدين يوم : Hari Pembalasan

4.إياك : Hanya Padamu

5.صراط : Jalan

C.Tafsir

(بسم الله) yakni: Aku memulai dengan segenap nama Allah Ta’ala, karena lafaz (اسم) mufrad mudhaf (kata tunggal bersandar) maka mencakup segenap nama-nama Allah (yang husna).

(الله)adalah al-ma’lu-al-ma’bud (yang diibadahi), yang berhak ditunggalkan dalam peribadahan, karena sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya dari sifat-sifat uluhiyah, dan ia merupakan sifat-sifat kesempurnaan.

(الرحمن الرحيم) dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memiliki rahmat yang luas dan besar yang mencakup segala sesuatu dan semua yang hidup dan Dia tetapkan untuk orang-orang yang bertakwa yang mengikuti nabi-nabi-Nya dan rasul-rasul-Nya. Mereka mendapatkan rahmat yang mutlak dan selain mereka mendapatkan bagian dari rahmat-Nya. Dan ketahuilah bahwa diantara kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh salaf (pendahulu) ummat ini dan imam-imam mereka: beriman dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dan beriman dengan hukum-hukum sifat. Mereka mengimani—misalnya—bahwa Allah rahman rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang) yang memiliki sifat rahmat (kasih sayang) yang Dia curahkan kepada al marhum (yang Dia kasih-sayangi). Maka nikmat-nikmat seluruhnya merupakan buah dari rahmat-Nya. Dan demikianlah pada seluruh sifat. Kita katakan pada Al Alim (Yang Maha Mengetahui); bahwa Dia Maha Mengetahui, memiliki pengetahuan, dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Qadir (Yang Maha Berkuasa), memiliki kekuasaan, berkuasa atas segala sesuatu.[10]

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينDalam ayat ini, terdapat dua macam qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan 7ÎtB, huruf mim dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya dengan 7Î=tB, huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.  Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah SWT.[11]

Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari perhitungan.”  Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين) berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan. Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan[12]. Saat itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan neraka.

Mengapa dikatakan Allah menguasai hari pembalasan? Bukankah Allah juga menguasai semua hari? Hal itu karena pada hari pembalasan, semua kekuasaan lenyap. Tak ada kekuasaan dan pemerintahan kecuali hanya milik-Nya semata.  Hal ini sesuai dengan ayat-Nya yang lain yang berbunyi: Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan yang Maha Pemurah (QS. Al-Furqan; 26).[13]

Kepercayaan terhadap adanya hari kiamat, hari akhir, atau hari pembalasan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana kata Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, kehidupan masyarakat yang berpedoman dengan metode Allah yang tinggi tidak akan terwujud selama kepercayaan terhadap hari kiamat tidak ada dalam diri mereka; selama hati mereka belum betul-betul menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan di dunia bukanlah akhir dari apa yang akan mereka dapatkan.[14]

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Dengan kalimat hanya kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.[15]

Shalat merupakan bentuk ibadah yang paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada semua orang.[16]

Meski diperintahkan untuk hanya menyembah Allah semata, manusia tetap diberi kebebasan untuk memilih, apakah sudi menyembah-Nya atau tidak; beriman atau kafir kepada-Nya; taat atau membangkang kepada-Nya. Padahal Allah bisa saja menciptakan semua makhluk-Nya jadi seperti malaikat yang hanya menyembah-Nya dan tidak pernah membangkang pada-Nya. Namun, Allah tetap memberikan kebebasan untuk memilih pada diri manusia agar manusia betul-betul menyembah Allah karena pilihannya sendiri, bukan karena paksaan. Menyembah Allah karena betul-betul menyadari sepenuhnya bahwa Allah memang layak dan seharusnya untuk disembah. Jika kesadaran itu semakin besar dan merasuk dalam hati manusia, ia pun menyembah Allah karena didasari rasa cinta kepada-Nya.

Setelah menyebutkan “hanya kepada-Mu kami menyembah”, Allah lantas menyebutkan “hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan”. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa “kami tidak menyembah kepada selain Diri-Mu, dan kami tidak meminta pertolongan kecuali kepada Diri-Mu”. Permintaan tolong hanya kepada Allah akan menghindarkan kita dari hinanya kehidupan dunia. Saat kita meminta tolong kepada selain Allah, misalnya manusia, maka kita sebenarnya meminta pertolongan kepada makhluk yang memiliki berbagai keterbatasan. Manusia bisa saja memberikan pertolongan kepada orang lain sesuai kemampuan dan kekuatannya. Manusia yang saat ini mampu dan kuat boleh jadi dalam sekejap bisa menjadi orang yang sangat lemah dan tidak memiliki kemampuan apapun.

Allah bermaksud membebaskan orang-orang beriman dari hinanya kehidupan dunia. Allah pun meminta mereka agar hanya meminta pertolongan kepada Diri-Nya yang Maha Hidup dan tak pernah mati; Maha Kuat dan tak pernah lemah; Maha Kuasa dan tak bisa dikuasai oleh apapun serta siapapun. Jika kita betul-betul meminta pertolongan kepada Allah, Dia pun akan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan saat kita lemah. Dia akan memberi petunjuk saat kita kebingungan memilih antara kebenaran dan kebatilan.

Ditempatkannya kalimat “permintaan tolong” (نَسْتَعِينُ) setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.[17]

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Menurut Ibnu Abbas, kata “tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا) berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain “jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.

Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari, membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum dalam mushaf Utsmani. Kedua, sebagian lain membacanya dengan huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط).  Ketiga, dibaca dengan huruf zay (ز), sehingga menjadi (الزِراَط).[18] Sedangkan menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak bengkok.

Kataاهْدِنَاberasal dari akar kata hidayah (هداية). Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya secara berurutan. Thahir Ibn Asyur membagi hidayah kepada empat tingkatan. Pertama, apa yang dinamainya al-quwa al-muharrikah wa al-mudrikah yakni potensi penggerak dan tahu. Melalui potensi ini mengantar seseorang dapat memelihara wujudnya.

Kedua, adalah petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang haq dan batil, yang benar dan salah. Ini adalah hidayah pengetahuan teoritis.

Ketiga, hidayah yang tidak dapat dijangkau oleh analisa dan aneka argumentasi akliyah, atau yang bila dusahakan akan sangat memberatkan manusia. Hidayah ini dianugerahkan Allah Swt. Dengan mengutus para rasul-Nya serta menurunkan kitab-kitab Nya dan inilah yang diisyaratkan oleh firman-Nya: “kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami”.

Keempat, yang merupakan puncak hidayah Allah swt. Adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendikiawan. Ini diperoleh melalui wahyu atau ilham yang shahih, atau limpahan kecerahan (tajalliyat) yang tercurah dari Allah swt.[19]

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Ayat ini merupakan penjelasan dan tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka” adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan, menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang dimurkai” (غيرالمغضوب عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.

D.Komentar Pemakalah

Al-Fatihah yang begitu singkat, memiliki artian yang sangat luas dan menggambarkan secara umum isi-isi dalam Al-Qur’an. Dalam buku Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab, Al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surat menguraikan 5 persoalan pokok diantaranya: 1) Tauhid; 2) janji dan Ancaman, 3) Ibadah, 4) penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara mencapainya dan 5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.

Dalam tujuh ayat tersebut, tergambar 5 pokok isi Al-Qur’an. Kelima pokok tersebut adalah Tauhid yang terdapat pada ayat kedua dan kelima; janji dan ancaman pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh; Ibadah terdapat pada ayat kelima dan ketujuh; sejarah masa lampau dan penjelasan tentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat tersirat pada ayat ketujuh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Kariem

As-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsir asy-Sya’rawi. juz 1

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. juz 1

Qutb, Sayyid. Fi Zhilal al-Qur’an. juz 1

Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati

Thanthawi, Muhammad Sayyid. at-Tafsir al-Wasith. juz 1


[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.

[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.

[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). ‘Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu

[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.

[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa’ dan sebagainya.

[6] Na’budu diambil dari kata ‘ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[7] Nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri

[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.

[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

[10] Diterjemahkan dari Taysir Karimir-Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan

[11] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah li an-Nasy wa at-Tauzi’, 1997), juz 1, hal. 53.

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, juz 1, hal. 5.

[15] Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, juz 1, hal. 3.

[16] Ibid

[17] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsir al-Wasith, juz 1, hal. 6.

[18] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz 1,  hal. 136.

[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007). Hal. 65

Challenge Journey of Lampung

Foto Bersama Pramuka IAIN Raden Intan, Bandar Lampung

SEKAPUR SIRIH

Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum melaksanakan kegiatan pengembaraan dari segi materi, fisik dan mental. Untuk persiapan materi, kami mengadakan up grading materi yang dilaksanakan pada 5 & 7 Februari 2011. Ada beberapa materi yang dibahas diantaranya AD/ART Gerakan Pramuka Tahun 2009, SK 080 Polbin T/D dan SK 086 Pramuka PERTI, Garis-garis Besar Haluan Organisasi Racana (GBHOR), Tata Organisasi Racana (TOR), Pola Mekanisme dan Pembinaan Warga (PMPW), Rencana Kerja, Adat Racana, Antropologi kampus dan Ke-Jakarta-an. Up grading ini melibatkan Dewan Racana yang mengatur kegiatan, Dewan Kehormatan Pandega sebagai pemateri, dan Senioren sebagai pengawas dan pembimbing. Dengan adanya upgrading ini, wawasan kami tentang kepramukaan, keracanaan dan yang lainnya menjadi lebih luas.

Semalaman kami hampir tidak tidur untuk mempersiapkan semuanya. Semoga ini menjadi hari-hari yang akan menjadi kenangan selam hidupku.

Terima kasih untuk kakakku yang terus memotivasi kami untuk terus maju melangkah untuk memberikan yang terbaik bagi Racanaku tercinta. Terima kasih racana yang telah memberi saya kesempatan untuk mengabdi padamu.

PENGEMBARAAN (Challenge Journey of Lampung)

Rabu, 16 Februari 2011

Rabu pagi buta tepatnya pukul 04.30, sebagian dari kami membangunkan kawan-kawan untuk persiapan upacara adat pelepasan dan pemberangkatan Pengembaraan. Dengan rasa kantuk, kami mempersiapkan barang-barang yang sebelumnya telah dipersipkan terlebih dahulu, untuk packing ulang dan melaksanakan shalat subuh berjamaah. Pada upacara adat pelepasan ini di hadiri oleh Dewan Racana, Dewan Kehormatan Pandega dan beberapa senioren serta teman-teman kami yang tak bisa mengantar sampai ke seberang sana.

Suasana Kereta Patas Ekonomi Jakarta-Merak

Usai Upacara adat pelepasan, kurang lebih pukul enam pagi pemberangkatan menuju tujuan pengembaraan dimulai dengan naik angkot S10 ke Stasiun Pd. Ranji. Setengah jam dari kampus kami telah sampai di stasiun Pd. Ranji. Ada hal yang ternyata tak diduga kereta yang akan kami tumpangi telat sampai setengah jam.

Pukul 08.30 kereta Patas Ekonomi Jakarta-Merak berangkat dari stasiun Pd. Ranji menuju Merak. Walaupun sempat telat sampai setengah jam, kereta datang tepat waktu di Stasiun Merak 12.05. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Bakauheuni, keadaan cuaca ketika itu baik karena gelombang laut tak begitu tinggi. Ditengah perjalanan, hujan turun agak deras sempat mengagetkan sebagian kami yang terlelap. Pukul 15.50 kami sampai di Pelabuhan Bakauheuni, yang langsung dilanjutkan dengan mengendarai bis ekonomi Bakauheuni-Rajabasa menuju UNILA. Perjalanan yang begitu melelahkan ini memakan waktu kurang lebih 4 jam. Sesampainya di UNILA ada sedikit accident hp saya tertinggal didalam bis, sempat kaget juga sih soalnya saya tidur fuul dalam bis dan kebetulan lagi hp saya sedang lowbatt, sadar sadar pas udah turun dari bis dan bis pun sudah berangkat menuju terminal. Untungnya tak jauh dari sana ada tukang ojek,  saya pun langsung mengejar bis dan alhamdulillah setelah sempat putus asa mencari-cari ternyata ada dibawah kursi bis yang saya duduki. Alhamdulillah keberuntungan masih berpihak padaku, kami beristirahat sejenak sambil merapihkan diri lahir dan batin untuk shalat Isya dan persiapan Upacara adat Penyambutan Tamu Racana Raden Intan-Putri Silamaya UNILA. Penyambutan yang begitu hangat dari kawan-kawan Pramuka UNILA membuat lelah terasa hilang, terlebih setelah usai upacara diteruskan dengan acara perkenalan ataupun ramah tamah.

Setelah semua kegiatan selesai, kamipun beranjak untuk tidur terlelap setelah sebelumnya mengadakan evaluasi dan persiapan untuk kegiatan esok hari.

 

Kamis, 17 Februari 2011

Pagi-pagi betul kami sudah bangun untuk melaksanakan beberapa kegiatan untuk hari ini. Ada 3 kegiatan inti pada hari ini yaitu, studi komperatif, studi usaha dan penampilan seni budaya antar kedua racana.

Studi komperatif antar racana ini berlangsung dari pukul 09.00-12.00. Materi-materi yang sebelumnya telah diupgradingkan dikupas dalam beberapa slide. Dari studi komperatif ini ada beberapa pelajaran, yang pertama tentang penerimaan anggota baru. Di Racana Raden Intan-Putri Silamaya proses pengkaderan dibagi dalam 3 tahap yaitu Tamu Racana, Calon Anggota dan Anggota.

  1. Tamu Racana          : Mahasiswa yang mendaftar dan mengikuti pelatihan untuk menjadi calon anggota
  2. Calon Anggota         : Tamu Racana yang telah dikukuhkan sebagai calon anggota, yang harus memenuhi beberapa syarat untuk menjadi Anggota penuh. Diantara syaratnya sebagai berikut:
  • Mengikuti kegiatan program kerja Dewan Racana Raden Intan dan Putri Silamaya selama 1 tahun.
  • Mengisi SKU Pandega.
  1. Mengikuti alur pola pembinaan yaitu bina diri, bina satuan dan bina masyarakat. Anggota                  : Calon anggota yang telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi anggota dan berhak memakai slayer anggota dan TKU Pandega.

Ketiga tahap itu dlakukan sebagai pembinaan sekaligus menguji loyalitas para anggota (warga) Racana tersebut. Dan alhamdulillah dengan sistem pengkaderan yang ada Racana ini terus dapat menjalankan kegiatan-kegiatan yang berkualitas.

Sealanjutnya, yang kedua tentang proses pemilihan KDR (Ketua Dewan Racana) dan PA (Pemangku Adat). KDR yang dipilih haruslah menjabat BPH (Badan Pengurus Harian) sebelumnya, hal ini dilakukan agar ketika ia menjadi KDR sudah betul-betul matang dalam kepemimpinan, keracanaan dan dalam menghadapi masalah-masalah yang ada di racana. PA dipilih setelah ia menjabat dua kali masa bhakti di dewan racana. Yang ketiga tentang program kerja yang disusun sesuai pola pembinaaan pramuka pandega yaitu bina diri, bina satuan dan bina masyarakat yang waktu untuk masing-masingnya empat bulan. Yang keempat tentang pemakaian slayer untuk anggota ketika tidak menggunakan seragam pramuka dalam kegiatan-kegiatan racana. Untuk program kerja racana kami lampirkan di akhir laporan ini.

Kegiatan sealanjutnya yaitu Studi Usaha. Studi usaha dilaksanakan setelah shalat dzuhur tepatnya pukul 13.45 di jl. Pagar Alam (gang PU) segala miden, Bandar Lampung. Dari hasil wawancara kami berikut hasilnya:

CARA MEMBUAT KERIPIK PISANG ANEKA RASA

  1. Menyiapkan alat-alat dan bahan-bahan:
  2. Pisang Gepok, dipilih pisang gepok karena renyah setelah digoreng.
  3. Minyak goreng sesuai kebutuhan/banyaknya pisang.
  4. Bumbu-bumbu (dirahasiakan)
  5. Untuk peralatan masih menggunakan alat-alat tradisional dan alat-alat masak yang biasa digunakan dirumah-ruma
  6. Pisang yang sudah disiapkan dikupas dan diparut sama rata. Disini memerlukan keahlian karena ketebalan hasil parutan pisang dapat mempengaruhi kkerenyahan dan kematangan pisang ketika digoreng
  7. Pisang yang sudah diparut langsung digoreng sampai matang
  8. Setelah itu pisang yang sudah matang ditiriskan selama 2 hari.
  9. Dicampur dan diadukkan dengan bumbu-bumbu yang telah disiapkan. Dalam hal bumbu pengusaha masih merahasiakan tentang asal-usul bumbu tersebut.
  10. Setelah diaduk dan dicampurkan pisang dimasukkan ke dalam oven agar bumbu-bumbu menempel.

Usaha ini termasuk ke dalam home industry karena pengelola dan pegawainya masih dalam ruang lingkup satu keluarga. Usaha ini dikelola oleh Pak Sudirmanto dan Ibu Asiah dengan dibantu oleh 8 pegawai yang mempunyai tugas masing-masing. Modal pertama yang dikeluarkan oleh pengusaha hanya Rp. 250.000.

Kegiatan inti kami yang ketiga adalah sharing dan penampilan seni dan budaya daerah masing-masing. Sebelumnya kami mempersiapkan penampilan setelah usai dari studi usaha. Dan Alhamdulillah acara ini berjalan dengan lancar dan dipenuhi tawa canda keakraban antar dua racana sesuai dengan apa yang kami harapkan.

Tak lama setelah semua kegiatan selesai seperti biasa kami adakan evaluasi harian dan persiapan untuk kegiatan esok hari dan dilanjutkan dengan beristirahat untuk persiapan fisik esok hari.

Jum’at, 18 Februari 2011

Seperti hari-hari biasa kami bangun pagi untuk menunaikan shalat subuh dan kegiatan rutinitas di pagi hari (olahraga, giat pribadi, sarapan, persiapan kegiatan). Hari ini adalah hari terakhir kami menginjakkan kaki di UNILA.

Pagi tepatnya pukul 07.10 kami melakukan upacara adat pelepasan yang kemudian dilanjutkan dengan studi sejarah yang berlokasi di Museum Lampung yang tak jauh dari kampus UNILA.

Dari studi sejarah di Museum Lampung banyak hal yang kami dapatkan mengenai sejarah Lampung.

Museum Lampung pertama kali di dirikan dari taun 1988 bersamaan diadakannya suatu perlombaan MTQ nasional.Museum ini memiliki 4600 koleksi yang terdiri dari beberapa bagianyaitu:

  • Koleksi Biologika
  • Koleksi Arkeologika
  • Koleksi Historika
  • Koleksi Keramika
  • Koleksi Mata Uang
  • Koleksi Cap-Cap Kuno
  • Koleksi Teknologika
  • Koleksi Seni Rupa

Dari beberapa koleksi ini benda-benda yang ada sangat lah berharga karena memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi.misalnya dimana koleksi mata uang terdapat uang-uang yang digunakan saat barteran di jaman Belanda dan Jepang khususnya bagi warga lampung unga yang terkoleksi ada banyak. Selain itu koleksi cap-cap kuno yang di pakai oleh raja-raja Lampung terdahulu ketika melkukan transaksi or administrasi.ada juga keramik-keramik dari zaman kerajaan-kerajaan masa lalu yang dimuseumkan dan di simpan rapih..sealain itu ada juga koleksi ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yaitu untuk menenun kain tapis kain khas Lampung,,dimana masih lestari pembuatannya sampai sekarang,,,karena tapis ini merupakan kain tenun khas dari Lampung maka produksinya sangat lah sulut untuk satu bulan produksi kain ini hanya satu kain utuh.Selain itu kain ini seringh digunakan dalam adat lampung karena keindahan motif yang dibuat .

Suku yang ada pada Lampung sampai saat ini yang tersisa ada dua bagian yaitu suku Pepadun yaitu suku Lampung yang tehubung langsung ke kerajaan pusat yaitu kerajaaan Sekala Berhak atau lebih identik dengan Lampung bagian Tulang Bawang, Menggala, Liwa dan Lampung Timur atau lampung kota seperti itu. Sedangkan untuk suku yang kedua yaitu suku Saibatin dimana penghuni suku-suku ini ialah yang mendiami pesisir-pesisir Lampung yang juga memiliki sistem kerajaaan. Perbedaan yang membedakan keduannya yaitu dari segi pakaian adat yang digunakan yaitu untuk Pepadun menggunakan pakaian putih yang lembut dan memakai mahkota Siger yang lengkungannya berjumlah Sembilan sedangkan untuk Saibatin Memakai baju merah yang lembut dan menggunakan Mahkota Siger  dengan jumlah lekukan sebanyak 7 lekukan. Itulah sekelumit sejarah tentang Lampung, adapun koleksi-koleksi yang lain tersimpan rapih dalam sedbuah lemari kaca. Seperti aksara Lampung yaitu seperti huruf-huruf lampung yang digunakan dalan tulis menulis khusus untuk Lampung, yang sampai sekarang diwajibkan disekolah-sekolah Lampung. Ada juga Rumah adat Khas Lampung yang namanya Nuwo Sesat, merupakan rumah yang sering digunakan masyarakat Lampung untuk mengadakan Rapat-rapat adat atau sebagai tempat Musyawarah.

Setelah melaksanakan studi sejarah, kegiatan diteruskan untuk shalat jum’at bagi laki-laki dan shalat dzuhur bagi perempuan. Setelah shalat dan makan siang kami bersiap-siap menuju STAIN Metro Lampung. Tepatnya pukul 14.00 kami beranjak dari Bandar Lampung (Terminal Rajabasa) menuju STAIN Metro dengan menggunakan bis ekonomi AC. Perjalanan ini menempuh waktu kurang lebih satu jam lima belas menit. Sesampainya disana kami sempat kaget dengan suasana kampus yang begitu ramai. Ternyata  suasana ini selalu ada tiap tahunnya dalam acara PGM (Perkemahan Gelar Muharram). Sambutan yang begitu hangat dari pihak STAIN Metro membawa suasana semakin riang, setibanya kami disana kami dipersilahkan untuk beristirahat dan melaksanakan shalat ashar berjamaah di masjid.

Pada pukul 16.15 tepatnya, kami melaksanakan upcara adat penyambutan yang dihadiri oleh Ketua STAIN Metro Prof. Dr. Saripudin dan Pembantu Ketua III serta pembina gugusdepan STAIN Metro. Hal ini membuat kami begitu optimis dalam menjalankan pengembaraan ini, karena dengan rasa senang dan ikhlas inilah kami melaksanakan pengembaraan ini. Usai upacara adat, diadakan sharing kegiatan kita ketika berada di STAIN Metro dan perkenalan dari pihak STAIN Metro dan UIN Jakarta. Sisa waktu kami manfaatkan untuk latihan untuk Pentas pada acara Pentas Seni PGM, giat pribadi dan ISHOMA.

Malam hari pukul 20.45 acara Pentas Seni PGM pun dimulai. Kami diminta untuk tampil sebagi pembuka Pentas Seni ini. Penampilan yang kami tampilkan di Pentas Seni I ini adalah Tarian Betawi. Acara Pentas Seni ini kami manfatkan sebagai momen sharing tentang pelaksanaan PGM tersebut. Kegiatan ini diselenggarakan tiap tahunnya ketika masa libur semester ganjil yang melibatkan Pramuka Penegak se-Provinsi Lampung. Kegiatan dikemas dengan bentuk perkemahan kurang lebih 4 hari. Yang selanjutnya tentang Kegiatan PGM ini kami lampirkan di akhir laporan. Pensi ini sendiri bertujuan untuk membina diri pramuka penegak dalam hal kreatifitas dan Mentalitas. Selain itu, moment ini dimanfaatkan sebagai Pengenalan Kampus bagi para siswa SMU/se-derajat karena sasaran dari kegiatan ini adalah Pramuka Penegak yang berpangkalan di SMU/se-derajat

Usai melaksanakan Pensi kami mengadakan evaluasi sebelum beranjak ke pulau impian. Yang dilanjutkan dengan persiapan kegiatan esok hari.

 

Sabtu, 19 Februari 2011

Kegiatan pagi seperti biasa kami laksanakan (Shalat subuh, Olahraga, Giat Pribadi, Sarapan dan Persiapan Kegiatan), namun agak berbeda dari yang sebelumnya untuk hari ini kami melakukan lari pagi dan senam pramuka bersama peserta PGM.

Ada banyak kegiatan untuk hari ini. Diantaranya studi komperatif, bina satuan, penanaman 200 pohon dan pentas seni PGM II.

Studi komperatif dimulai pukul 09.34 dengan dihadiri beberapa peserta PGM sebagai wawasan pengetahuan bagi mereka ketika menginjak ke Perguruan tinggi atas rekomendasi pihak STAIN Metro. Kegiatan berjalan cukup lancar sesuai dengan harapan kami semua. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan dalam studi komperatif ini diantaranya tentang pola pembinaan warga dan proses pengkaderan dan landasannya karena STAIN Metro pun mempunyai pola pembinaan yang sama dengan Racana yang ada di UNILA. Selanjutnya tanya jawab lebih cenderung kepada Program Kerja Racana yang telah dilampirkan.

Kegiatan selanjutnya bina satuan di SMPN STAIN Metro. Kegiatan ini dialaksanakan setelah shalat dzuhur dan makan siang, tepatnya pukul 13.45. Pada kesempatan ini kami mencoba memberikan motivasi bagi andika-andika SMPN 02 Metro tetap meneruskan kegiatan kepramukaan hingga tingkat selanjutnya, mengingat Kepramukaan di sekolah ini hanya sekedar Ekstrakulikuler yang tak wajib untuk diikuti oleh semua siswa. Bina satuan ini diisi dengan game-game yang menarik, materi-materi dasar kepramukaan dan pengalaman kami agar para siswa terus bersemangat untuk selalu berkarya.

Setelah melakukan shalat ashar kegiatan dilanjutkan dengan penanaman 200 pohon di bantaran sungai batanghari. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian Pramuka terhadap lingkungan hidup. Kegiatan ini melibatkan kami dan peserta PGM.

Kegiatan malam diisi dengan Pentas seni PGM II. Kali ini kami menampilkan Beksi sebagai penutup acara Pentas Seni ini. Walaupun ini pentas seni yang kedua semangat para peserta PGM. Bahkan lebih meriah dari sebelumnya di akhir pun kami merasa terharu karena esok kami harus beranjak dari STAIN Metro. Mengingat malam yang begitu larut dan kondisi kami yang begitu lelah, kami hanya mambiicarakan persiapan esok pagi namun  untuk evaluasi dilakukan esok pagi.

 

Minggu, 20 Februari 2011

Kegiatan pagi seperti biasa kami lakukan. Setelah semua persiapan sudah selasai, kami mengadakan evaluasi yang sempat tertunda. Pukul 09.00 kami mulai upacara adat pelepasan STAIN Metro. Susainya kami berpamitan dengan para pembina STAIN Metro.

Kami menuju IAIN Lampung pukul 09.30 dengan diantar beberapa orang dari STAIN Metro memerlukan waktu kurang lebih 2 jam untuk menuju IAIN Lampung. Sampai disana dengan sambutan dari kawan-kawan Pramuka IAIN Lampung kamipun lebih bersemangat untuk menimba wawasan disini.

Kegiatan selanjutnya kami setelah melaksanakan shalat dzuhur, upacara adat penyambutan Racana IAIN Lampung yang dilanjutkan dengan penyambutan dari PUREK III Prof. Dr. Apip Anshori, acara penyambutan ini dipisah dari acara studi komperatif dengan pertimbangan pembina yang tak bisa hadir penuh dalam acara studi komperatif.

Usai kegiatan sebelumnya, kami lanjutkan dengan studi komperatif dengan Racana Raden Imba Kesuma Ratu-Putri Sinar Alam, di studi komperatif ini sedikit membahas tentang MUGUS yang menjadi wacana di Racana kita. Racana IAIN ini pun ternyata sudah mengonsep MUGUS yang akan diadakan karena ada pergantian Pembina dan Mabigus Harian. Pertanyaan tentang proses pengajuan MUGUS pun dilontarkan diantaranya mengenai kendala-kendala yang dihadapi ketika mengajukan MUGUS. Namun tak ada kendala yang berarti bagi mereka karena Pihak Rektorat pun sudah paham dan mengerti tentang Gerakan Pramuka. Kemudian membahas tentang pengkaderan atau pola pembinaan untuk hal ini kami lampirkan pada lampiran-lampiran. Ada yang unik dan menarik dari racana ini, ada sebutan-sebutan khusus untuk dewan atau pengurus. Selanjutnya kami lampirkan pada hasil studi kompratif. Waktu yang sudah semakin sore membuat studi komperatif ini ditunda sampai malam hari setelah isya.

Pukul 20.00 pesiapan studi komperatif lanjutan dimulai, hingga pukul 20.30 acara pun dimulai. Satuan terpisah dan terpadu menjadi sorotan kali ini. Namun, hal ini masih bisa dipertahankan dengan argumen-argumen kami. Selanjutnya lebih kepada sharing program kerja antar racana.

Acara berikutnya yaitu unggun gembira, yang menjadi ajang silaturahmi kami dengan kawan-kawan Racana IAIN Lampung. Kegiatan ini diisi dengan game-game yang menarik dan yel-yel yang menjadi ajang tukar kreatifitas antar racana.

Setelah semua kegiatan selesai, kami beranjak untuk mengadakan evaluasi  harian dan persiapan untuk esok hari sebelum beristirahat menghilangkan lelah.

 

Senin, 21 Februari 2011

Indahnya Pantai Mutun

Kegiatan pagi kami kali ini seperti biasa shalat subuh, olahraga, giat pribadi dan sarapan untuk persiapan fisik sebelum mengangkat kaki dari lampung. Pagi ini tetpatnya pukul 08.45 kami melakukan upacara adat racana yang dilanjutkan dengan packing dan sayonara bersama kawan-kawan Pramuka IAIN Lampung.

Ketika jarum jam menunjukan pada pukul 11.30 kami tiba di Pantai Mutun, kami pun bergegas melanjutkan tugas kami yaitu menanyakan kepada pengelola pantai tersebut akan keadaan dan sejarah pantai ini.

sekilas tentang pantai mutun. Namanya adalah pantai mutun yang terletak di dusun Tembikil pesawaran tidak jauh dari daerah Bandar Lampuna, pantai ini merupakan milik perorangan yaitu milik pak H. Haruna Jaya sebagai perintis sekaligus pemilik pantai ini di buka dari tahun 2000 dan belum memiliki struktur kepemilikannya karena pantai ini termasuk baru dan belum di atur manajemenya. Untruk pengelola sekarang di pegang oleh pak Irwan yaitu anak dari Pemilik tanah ini. nama ‘mutun’ diambil dari kata “BUTON” karena logat pengucapannya berbeda biasa beliau(Haruna Jaya) disebut butun dan  berbeda pendengaranya makanya di sebutlah pantai ini diberi nama MUTUN.

Wong aneh stress diputusin pacar....hehehehehe

Untuk tiket masuk tergantung kriteria:

  • Untuk motor      : Rp. 10.000,-
  • Perorangan        :Rp.5000,-
  • Angkot              :Rp. 35.000,-
  • Truk                  :Rp.70.000,-
  • Mobil                :Rp. 35.000,-
  • Bis kecil            :Rp.100.000,-
  • Bis besar          :Rp.150.000,-

 

Untuk pendapatan selama weekend sekitar 1-8 juta rupiah,,sedangkan hari-hari biasa sekitar 500 ribu ke bawah.untuk para penduduk sekitar diberikan kesempatan untuk membuka kios sebagai pendapatan tambahan bagi penduduk sekitar, selain pantai ini ada juga water boom yang langsung menjorok ke laut, selain itu juga di seberang pantai ada pulau namanya Pulau Tangkil di lengkapi dengan villa pemandian dan lain-lain, untuk mencapai pulau tersebut harus nyewa perahu untuk nyebrang dengan harga sekitar Rp.10.000,- sampe kita kembali lagi ke daratan atau pinggiran pantai, selain itu juga fasilitas di pantai ini ada banyak pondokan atau saung untuk istirahat.

Sore hari kami bersiap untuk berangkat ke Pelabuhan Bakauheuni. Dengan didampingi kawan-kawan IAIN Lampung sampai ke Terminal Rajabasa. Memerlukan waktu 3 jam lebih menuju Pelabuhan Bakauheuni.  Setibanya disana kami langsung mempersiapkan diri untuk pemberangkatan menuju Pelabuhan Merak. Gelombang yang tinggi membuat kami sedikit cemas. Alhamdulillah, kami selamat sampai tujuan.

 

Selasa, 22 Februari 2011

Pukul 01.00 di pelabuhan merak, segera kami menuju masjid untuk melemaskan pikiran dan badan sejenak. Dengan bergantian jaga kamipun terlelap dalam mimpi.

Azan subuh berkumandang, kami pun bersiap melaksanakan shalat subuh dan persiapan berangkat menuju Stasiun merak. Lima belas menit mempersiapkan perlengkapan kami pun beranjak ke stasiun Merak. Tepat pukul 06.00 pagi, kereta Banten Express yang kami tumpangi berangkat menuju Jakarta. Pukul 09.40 kami sampai di Stasiun Pd. Ranji, dengan susah payah untuk keluar dari kereta yang padat dengan penumpang. Saya sempat lari kedepan untuk menahan pemberangkatan kereta yang hanya berhenti sebentar. Dan syukur alhamdulillah semua bisa turun dengan selamat. Selanjutnya, sesuai intruksi dari BPH kami tidak diperkenankan untuk memasuki kampus terlebih dahulu sebelum upacara adat penyambutan dimulai, kami pun menuju masjid Al-Ikhlas yang berada di Kampung Utan. Disana kami beristirahat dan sejenak merekap ulang kegiatan selama 7 hari di lampung.

Sore hari kami melaksanakan persiapan upacara adat penyambutan pukul 16.00 sampai shalat maghrib tiba baru selesai. Dilanjutkan dengan evaluasi seusai shalat maghrib.

Hikmah-Hikmah

Banyak hal yang dapat diambil dari pengembaraan ini. Bina diri, memupuk pribadi yang santun dan bisa menghargai diri sendiri, belajar kepemimpinan, belajar menganalisa. Dari proses bina diri inilah watak, sifat dan jiwa warga Racana yang berkualitas terbentuk. Jadi tak ada kata SIA-SIA untuk pengembaraan. Tak hanya bina dir, bina satuan dan bina satuan pun banyak didapat dari kegiatan ini. Seharusnya Racana pantas untuk maju dengan SDM yang ada, tinggal bagaimana SDM yang ada di manfaatkan dengan sebaik mungkin.

Dampak Pencemaran Udara oleh Belerang Oksida (SOx)

Gas belerang oksida atau sering ditulis dengan SOx terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar, sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif. Gas SO3 mudah bereaksi dengan uap air yang ada diudara untuk membentuk asam sulfat atau H2SO4. Asam sulfat ini sangat reaktif, mudah bereaksi (memakan) benda-benda lain yang mengakibatkan kerusakan, seperti proses perkaratan (korosi) dan proses kimiawi lainnya.

SOx mempunyai ciri bau yang tajam, bersifat korosif (penyebab karat), beracun karena selalu mengikat oksigen untuk mencapai kestabilan phasa gasnya. Sox menimbulkan gangguan sitem pernafasan, jika kadar 400-500 ppm akan sangat berbahaya, 8-12 ppm menimbulkan iritasi mata, 3-5 ppm menimbulkan bau.

Konsentrasi gas SO2 diudara akan mulai terdeteksi oleh indera manusia (tercium baunya) manakala kensentrasinya berkisar antara 0,3 – 1 ppm. Jadi dalam hal ini yang dominan adalah gas SO2. Namun demikian gas tersebut akan bertemu dengan oksigen yang ada diudara dan kemudian membentuk gas SO3 melalui reaksi berikut :

2SO2 + O2 (udara)        ->               2SO3

Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar pada beberapa kegiatan industri seperti yang terjadi di negara Eropa Barat dan Amerika, menyebabkan kadar gas SOx diudara meningkat. Reaksi antara gas SOx dengan uap air yang terdapat di udara akan membentuk asam sulfat maupun asam sulfit. Apabila asam sulfat dan asam sulfit turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan, terjadilah apa yang dikenal denagn Acid Rain atau hujan asam . Hujan asam sangat merugikan karena dapat merusak tanaman maupun kesuburan tanah. Pada beberapa negara industri, hujan asam sudah banyak menjadi persoalan yang sangat serius karena sifatnya yang merusak. Hutan yang gundul akibat jatuhnya hujan asam akan mengakibatkan lingkungan semakin parah.

Pencemaran SOx diudara terutama berasal dari pemakaian baru bara yang digunakan pada kegiatan industri, transportasi, dan lain sebagainya. Belerang dalam batu bara berupa mineral besi peritis atau FeS2 dan dapat pula berbentuk mineral logam sulfida lainnya seperti PbS, HgS, ZnS, CuFeS2 dan Cu2S. Dalam proses industri besi dan baja (tanur logam) banyak dihasilkan SOx karena mineral-mineral logam banyak terikat dalam bentuk sulfida. Pada proses peleburan sulfida logam diubah menjadi oksida logam. Proses ini juga sekaligus menghilangkan belerang dari kandungan logam karena belerang merupakan pengotor logam. Pada suhu tinggi sulfida logam mudah dioksida menjadi oksida logam melalui reaksi berikut :

2ZnS + 3O2 -> 2ZnO + 2SO2

2PbS + 3O2 -> 2PbO + 2SO2

Selain tergantung dari pemecahan batu bara yang dipakai sebagai bahan bakar, penyebaran gas SOx, ke lingkungan juga tergnatung drai keadaan meteorologi dan geografi setempat. Kelembaban udara juga mempengaruhi kecepatan perubahan SOx menjadi asam sulfat maupun asam sulfit yang akan berkumpul bersama awan yang akhirnya akan jatuh sebagai hujan asam. Hujan asam inilah yang menyebabkan kerusakan hutan di Eropa (terutama di Jerman) karena banyak industri peleburan besi dan baja yang melibatkan pemakaian batu bara maupun minyak bumi di negeri itu.

Sumber dan pola Paparan

Meskipun sumber alami (gunung berapi atau panas bumi) mungkin hadir pada beberapa tempat, sumber antropogenik, pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur, mendominasi daerah perkotaan. Ini termasuk :

  • Sumber pokok (pembangkit tenaga listrik, pabrik pembakaran, pertambangan dan pengolahan logam)
  • Sumber daerah (pemanasan domestik dan distrik)
  • Sumber bergerak (mesin diesel)

Pola paparandan durasi sering menunjukkan perbedaan daerah dan musim yang signifikan, bergantung pada sumber dominan dan distribusi ruang, cuaca dan pola penyebaran. Pada konsentrasi tinggi, dimana berlangsung untuk beberapa hari selama musim dingin, bulan musim dingin yang stabil ketika penyebaran terbatas, masih terjadi pada banyak bagian dunia dimana batu bara digunakan untuk tempat pemanasan. Sumber daerah biasanya mendominasi pada beberapa peristiwa, hasil pada pola homogen konsentrasi dan paparan/pembukaan.

Sebaliknya, jarak peristiwa waktu-singkat dari menit ke jam mungkin terjadi sebagai hasil pengasapan, penyebaran atau arah angin dari sumber utama. Hasil pola paparan bervariasi secara substantial, tergantung pada ketinggian emisi, dan kondisi cuaca. Variabel sementara dari konsentrasi ambient juga sering tinggi pada keadaan tertentu, khususnya untuk sumber lokal.

Dampak Pencemaran oleh Belerang Oksida (SOx)

Sebagian besar pencemaran udara oleh gas belerang oksida (SOx) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara. Adanya uap air dalam udara akan mengakibatkan terjadinya reaksi pembentukan asam sulfat maupun asam sulfit. Reaksinya adalah sebagai berikut :

SO2 + H2O      ->                  H2SO3

SO3 + H2O      ->                  H2SO4

Apabila asam sulfat maupun asam sulfit tersebut ikut berkondensasi di udara dan kemudian jatuh bersama-sama air hujan sehingga pencemaran berupa hujan asam tidak dapat dihindari lagi. Hujan asam ini dapat merusak tanaman, terkecuali tanaman hutan. Kerusakan hutan ini akan mengakibatkan terjadinya pengikisan lapisan tanah yang subur.

Walaupun konsentrasi gas SOx yang terdispersi ke lingkungan itu berkadar rendah, namun bila waktu kontak terhadap tanaman cukup lama maka kerusakan tanaman dapat saja terjadi. Konsentrasi sekitar 0,5 ppm sudah dapat merusakan tanaman, terlebih lagi bila konsentrasi SOx di Udara lingkungan dapat dilihat dari timbulnya bintik-bintik pada permukaan daun. Kalau waktu paparan lama, maka daun itu akan gugur. Hal ini akan mengakibatkan produktivitas tanaman menurun.

Udara yang telah tercemar SOx menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernapasaannya. Hal ini karena gas SOx yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SOx tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena.

Lapisan SO2 dan bahaya bagi kesehatan

SO2 mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesehatan yang akut dan kronis. dalam bentuk gas, SO2 dapat mengiritasi sistem pernapasan; pada paparan yang tinggi (waktu singkat) mempengaruhi fungsi paru-paru.

SO2 merupakan produk sampingan H2SO4 yang mempengaruhi sistem pernapasan. Senyawanya, terdiri dari garam ammonium polinuklir atau organosulfat, mempengaruhi kerja alveoli dan sebagai bahan kimia yang larut, mereka melewati membran selaput lendir pada sistem pernapasan pada makhluk hidup.

Aerosol partikulat dibentuk oleh gas ke pembentukan partikel ditemukan bergabung dengan pengaruh kesehatan yang banyak.

Secara global, senyawa-senyawa belerang dalam jumlah cukup besar masuk ke atmosfer melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta metric ton belerang setiap tahunnya, terutama sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan gas buangan pembakaran bensin. Jumlah yang cukup besar dari senyawa belerang juga dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam bentuk H2S, proses perombakan bahan organik, dan reduksi sulfat secara biologis. Jumlah yang dihasilkan oleh proses biologis ini dapat mencapai lebih 1 juta metric ton H2S per tahun.

Sebagian dari H2S yang mencapai atmosfer secara cepat diubah menjadi SO2 melaui reaksi :

H2S + 3/2 O2 SO2 + H2O

reaksi bermula dari pelepasan ion hidrogen oleh radikal hidroksil ,

H2S + HOHS + H2O

yang kemudian dilanjutkan dengan reaksi berikut ini menghasilkan SO2

HS + O2 HO+ SO

SO + O2 SO2 + O

Hampir setengahnya dari belerang yang terkandung dalam batu bara dalam bentuk pyrit, FeS2, dan setengahnya lagi dalam bentuk sulfur organik. Sulfur dioksida yang dihasilkan oleh perubahan pyrit melalui reaksi sebagai berikut :

4FeS2 + 11O2 2 Fe2O3 + 8 SO2

Pada dasarnya, semua sulfur yang memasuki atmosfer dirubah dalam bentuk SO2 dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO2

Walaupun SO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia hanya merupakan bagian kecil dari SO2 yang ada diatmosfer, tetapi pengaruhnya sangat serius karena SO2 langsung dapat meracuni makhluk disekitarnya. SO2 yang ada diatmosfer menyebabkan iritasi saluran pernapasandan kenaikan sekresi mucus. Orang yang mempunyai pernapasan lemah sangat peka terhadap kandungan SO2 yang tinggi diatmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, SO2 dapat menyebabkan kematian pada manusia.

Pencemaran yang cukup tinggi oleh SO2 telah menimbulkan malapetaka yang cukup serius. Seperti yang terjadi di lembah Nerse Belgia pada 1930, tingkat kandungan SO2 diudara mencapai 38 ppm dan menyebabkan toksisitas akut. Selama periode ini menyebabkan kematian 60 orang dan sejumlah ternak sapi.

Sulfur dioksida juga berbahaya bagi tanaman. Adanya gas ini pada konsentrasi tinggi dapat membunuh jaringan pada daun. pinggiran daun dan daerah diantara tulang-tulang daun rusak. Secara kronis SO2 menyebabkan terjadinya khlorosis. Kerusakan tanaman iniakan diperparah dengan kenaikan kelembaban udara. SO2 diudara akan berubah menjadi asam sulfat. Oleh karena itu, didaerah dengan adanya pencemaran oleh SO2 yang cukup tinggi, tanaman akan rusak oleh aerosol asam sulfat.

Kerusakan juga dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dolomit akan dirusak oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini akan tampak pada penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut.

Miracle Of Al-Isra & Al-Miraj

In the name of Allah Most Merciful Most Beneficient Blessings and Peace upon the Messenger of Allah and his Family and Companions,

As the Prophet, upon him blessings and peace, was in al-Hijr at the House (the semi-circular space under the waterspout which is open on both sides on the Northwest side of the Ka`ba), lying down at rest between two men (his uncle Hamza and his cousin Ja`far ibn Abi Talib), Jibril and Mika’il came to him. With them was a third angel (Israfil). They carried him until they brought him to the spring of Zamzam, where they asked him to lie on his back and Jibril took him over from the other two. (Another version says:) “The roof of my house was opened and Jibril descended.”

He split the Prophet’s chest from his throat to the bottom of his belly. Then Jibril said to Mika’il: “Bring me a tast (a vessel, usually made of copper) of water from Zamzam so that I will purify his heart and expand his breast.” He took out his heart and washed it three times, removing from it what was wrong. Mika’il went back and forth to him with the vessel of water from Zamzam three times.

Then he brought him a golden vessel filled with wisdom and belief which he emptied into his chest. He filled his chest with hilm (intelligence, patience, good character), knowledge, certainty, and submission, then he closed it up. He sealed it between his shoulders with the seal of Prophethood.

Then he brought the Buraq (lightning-mount), handsome-faced and bridled, a tall, white beast, bigger than the donkey but smaller than the mule. He could place his hooves at the farthest boundary of his gaze. He had long ears. Whenever he faced a mountain his hind legs would extend, and whenever he went downhill his front legs would extend. He had two wings on his thighs which lent strength to his legs.

He bucked when the Prophet came to mount him. Jibril put his hand on his mane and said: “Are you not ashamed, O Buraq? By Allah, no-one has ridden you in all creation more dear to Allah than he is.” Hearing this he was so ashamed that he sweated until he became soaked, and he stood still so that the Prophet mounted him.

The other Prophets used to mount the Buraq before. Sa`id ibn al-Musayyib said: “It is the beast of Ibrahim which he used to mount whenever he travelled to the Sacred House.”

Jibril departed with him. He placed himself on his right while Mika’il was on his left. (In Ibn Sa`d’s version:) The one holding his stirrup was Jibril and the one holding the reins of the Buraq was Mika’il.

They travelled until they reached a land filled with datepalms. Jibril said to the Prophet: “Alight and pray here.” He did so and remounted, then Jibril said: “Do you know where you prayed?” He said no. Jibril said: “You prayed in a tayba (land of pastures) and the Migration will take place there.

The Buraq continued his lightning flight, placing his hooves wherever his gaze could reach. Jibril then said again: “Alight and pray here.” He did so and remounted, then Jibril said: “Do you know where you prayed?” He said no. Jibril said: “You prayed in Madyan (a city on the shore of the Red Sea bordering Tabuk near the valley of Shu`ayb) at the tree of Musa” (where Musa rested from fatigue and hunger during his flight from Fir`awn).

The Buraq continued his lightning flight, then Jibril said again: “Alight and pray here.” He did so and remounted, then Jibril said: “Do you know where you prayed?” He said no. Jibril said: “You prayed at the mountain of Sina’ (Mount Sinai) where Allah addressed Musa.”

Then he reached a land where the palaces of Syria became visible to him. Jibril said to him: “Alight and pray.” He did so and remounted, then the Buraq continued his lightning flight and Jibril said: “Do you know where you prayed?” He said no. Jibril said: “You prayed in Bayt Lahm (Bethlehem), where `Isa ibn Maryam was born.”

As the Prophet was travelling mounted on the Buraq he saw a devil from the jinn who was trying to get near him holding a firebrand. Everywhere the Prophet turned he would see him. Jibril said to him: “Shall I teach you words which, if you say them, his firebrand will go out and he will fall dead?” The Prophet said yes. Jibril said:

Say: a`udhu bi wajhillahi al-karim
wa bi kalimatillahi al-tammat
al-lati la yujawizuhunna barrun wa la fajir
min sharri ma yanzilu min al-sama’
wa min sharri ma ya`ruju fiha
wa min sharri ma dhara’a fi al-ard
wa min sharri ma yakhruju minha
wa min fitani al-layli wa al-nahar
wa min tawariq al-layli wa al-nahar
illa tariqin yatruqu bi khayrin ya rahman

I seek refuge in the Face of Allah the Munificent
and in Allah’s perfect words
which neither the righteous nor the disobedient overstep
from the evil of what descends from the heaven
and the evil of what ascends to it
and the evil of what is created in the earth
and the trials of the night and the day
and the visitors of the night and the day
except the visitor that comes with goodness,
O Beneficent One!

At this the devil fell dead on his face and his firebrand went out.

They travelled until they reached a people who sowed in a day and reaped in a day. Every time they reaped, their harvest would be replenished as before. The Prophet said: “O Jibril, what is this?” He replied: “These are al-mujahidun — those who strive — in the path of Allah the Exalted. Every good deed of theirs is multiplied for them seven hundred times, and whatever they spend returns multiplied.”

The Prophet then noticed a fragrant wind and said: “O Jibril, what is this sweet scent?” He replied: “This is the scent of the lady who combed the hair of Fir`awn’s daughter and that of her children. As she combed the hair of Fir`awn’s daughter the comb fell and she said: bismillah ta`isa fir`awn — In the name of Allah, may Fir`awn perish! whereupon Fir`awn’s daughter said: Do you have a Lord other than my father? She said yes. Fir`awn’s daughter said: Shall I tell my father? She said yes. She told him and he summoned her and said: Do you have a Lord other than me? She replied: Yes, my Lord and your Lord is Allah. This woman had two sons and a husband. Fir`awn summoned them and he began to entice the woman and her husband to renege on their religion, but they refused. He said: Then I shall kill you. She said: Be so good as to bury us all together in a single grave if you kill us. He replied: Granted, and it is your right to ask us. He then ordered that a huge cow made of copper be filled with boiling liquid (oil and water) and that she and her children be thrown into it. The children were taken and thrown in one after the other. The second and youngest was still an infant at the breast. When they took him he said: Mother! fall and do not tarry for verily you are on the right. Then she was thrown in with her children.”

He (Ibn `Abbas) said: “Four spoke from the cradle as they were still infants: this child, Yusuf’s witness (cf. 12:26), Jurayj’s companion, and `Isa ibn Maryam.”22

Then the Prophet saw people whose heads were being shattered, then every time they would return to their original state and be shattered again without delay. He said: “O Jibril, who are these people?” He replied: “These are the people whose heads were too heavy (on their pillows) to get up and fulfill the prescribed prayers.”

Then he saw a people who wore loincloths on the fronts and on their backs. They were roaming the way camels and sheep roam about. They were eating thistles and zaqqum — the fruit of a tree that grows in hell and whose fruit resembles the head of devils (37:62-63) — and white-hot coals and stones of Gehenna. He said: “Who are these, O Jibril?” He replied: “These are the ones who did not meet the obligation of paying sadaqa from what they possessed, whereas Allah never kept anything from them.”

Then he saw a people who had in front of them excellent meats disposed in pots and also putrid, foul meat, and they would eat from the foul meat and not touch the good meat. He said: “What is this, O Jibril?” He replied: “These are the men from your Community who had an excellent, lawful wife at home and who would go and see a foul woman and spend the night with her; and the women who would leave her excellent, lawful husband to go and see a foul man and spend the night with him.”

Then he came to a plank in the middle of the road which not even a piece of cloth nor less than that could cross except it would be pierced. He said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is what happens to those of your Community who sit in the middle of the road and cut it” and he recited:

wa la taq`adu bi kulli siratin tu`iduna wa tasudduna `an sabilillah man amana bihi wa tabtaghunaha `iwajan

Lurk not on every road to threaten wayfarers and to turn away from Allah’s path him who believes in Him, and to seek to make it crooked (7:86).

The Prophet saw a man swimming in a river of blood and he was being struck in his mouth with rocks which he then swallowed. The Prophet asked: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is what happens to those who eat usury.”

Then he saw a man who had gathered a stack of wood which he could not carry, yet he was adding more wood to it. He said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is a man from your Community who gets people’s trusts when he cannot fulfill them, yet he insists on carrying them.

He then saw people whose tongues and lips were being sliced with metal knives. Every time they were sliced they would return to their original state to be sliced again without respite. He said: “Who are these, O Jibril?” He replied: “These are the public speakers of division in your Community: they say what they don’t do.”

Then he passed by people who had copper nails with which they scratched their own faces and chests. He asked: “Who are these, O Jibril?” He replied: “These are the ones who ate the flesh of people and tarnished their reputations.”

Then he saw a small hole with a huge bull coming out of it. The bull began to try entering the hole again and was unable. The Prophet said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is the one in your Community who tells an enormity, then he feels remorse to have spoken it but is unable to take it back.”

(al-Shami added:) He then came to a valley in which he breathed a sweet, cool breeze fragrant with musk and he heard a voice. He said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is the voice of Paradise saying: O my Lord, bring me what You have promised me for too abundant are my rooms, my gold-laced garments, my silk, my brocades, my carpets, my pearls, my coral, my silver, my gold, my goblets, my bowls, my pitchers, my couches, my honey, my water, my milk, my wine! And He says: You will have every single Muslim and Muslima, every Mu’min and Mu’mina, and everyone who has believed in Me and My Messengers and did excellent deeds without associating a partner to Me nor taking helpers without Me. Anyone who fears Me will be safe, and whoever asks Me I shall give him, and whoever lends Me something I shall repay him, and whoever relies on Me I shall suffice him. I am Allah besides Whom there is no god. I never fail in My promise. Successful indeed are the believers! Blessed is Allah, therefore, the best of Creators! And Paradise answered: I accept.”

Then he came to a valley in which he heard a detestable sound and smelled a stench-carrying wind. He said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is the sound of Gehenna saying: O Lord, give me what You promised me, for abundant are my chains, my yokes, my punishments, my fires, my thistles, my pus, my tortures! My depth is abysmal, my heat is extreme, therefore give me what You promised me! And He replied: You will have every idolater and idolatress, every male and female disbeliever and foul one, and every tyrant who does not believe in the Day of Reckoning.”

The Prophet saw the Dajjal in his actual likeness. He saw him with his own eyes not in a dream. It was said to him: “O Messenger of Allah, how was he when you saw him?” He replied: “Mammoth-sized (faylamaniyyan), extremely pale and white (aqmaru hijan), one of his eyes is protuberant as if it were a twinkling star. His hair is like the branches of a tree. He resembles `Abd al-`Uzza ibn Qatan (who died in Jahiliyya).”

The Prophet saw a pearl-like white column (`amud) which the angels were carrying. He said: “What is this you are carrying?” They replied: “The Column of Islam. We have been ordered to place it in Syria.” (End of al-Shami’s addition.)

[The Prophet called Syria the purest of Allah’s lands, the place where Religion, belief and safety are found in the time of dissension, and the home of the saints for whose sake Allah sends sustenance to the people and victory to Muslims over their enemies:

1. Ibn `Asakir in Tahdhib tarikh Dimashq al-kabir relates from Ibn Mas`ud that the Prophet compared the world to a little rain water on a mountain plateau of which the safw had already been drunk and from which only the kadar or dregs remained. al-Huwjiri and al-Qushayri mention it in their chapters on tasawwuf, respectively in Kashf al-mahjub and al-Risala al-qushayriyya. Ibn al-Athir defines safw and safwa in his dictionary al-Nihaya as “the best of any matter, its quintessence, and purest part.” The quintessence spoken of by the Prophet is Syria, because he called Syria “the quintessence of Allah’s lands” (safwat Allah min biladih). Tabarani related it from `Irbad ibn Sariya and Haythami authenticated the chain of transmission in his book Majma` al-zawa’id, chapter entitled Bab fada’il al-sham.

2. Abu al-Darda’ narrated that the Prophet said:

As I was sleeping I saw the Column of the Book being carried away from under my head. I feared lest it would be taken away, so I followed it with my eyes and saw that it was being planted in Syria. Verily, belief in the time of dissensions will be in Syria.

al-Haythami said that Ahmad narrated it with a chain whose narrators are all the men of the sahih — sound narrations — and that al-Bazzar narrated it with a chain whose narrators are the men of sound hadith except for Muhammad ibn `Amir al-Antaki, and he is thiqa — trustworthy.

In the version Tabarani narrated from Ibn `Amr in al-Mu`jam al kabir and al-Mu`jam al-awsat the Prophet repeats three times: “When the dissensions take place, belief will be in Syria.” One manuscript bears: “Safety will be in Syria.” al-Haythami said the men in its chain are those of sound hadith except for Ibn Lahi`a, and he is fair (hasan).

3. al-Tabarani relates from `Abd Allah ibn Hawala that the Prophet said:

“I saw on the night that I was enraptured a white column resembling a pearl, which the angels were carrying. I said to them: What are you carrying? They replied: The Column of the Book. We have been ordered to place it in Syria. Later, in my sleep, I saw that the Column of the Book was snatched away from under my headrest (wisadati). I began to fear lest Allah the Almighty had abandoned the people of the earth. My eyes followed where it went. It was a brilliant light in front of me. Then I saw it was placed in Syria.” `Abd Allah ibn Hawala said: “O Messenger of Allah, choose for me (where I should go).” The Prophet said: alayka bi al-sham — “You must go to Syria.”

al-Hafiz al-Haythami said in Majma` al-zawa’id: “The narrators in its chain of transmission are all those of sound hadith, except Salih ibn Rustum, and he is thiqa — trustworthy.”

4. Imam Ahmad ibn Hanbal relates in his Musnad (1:112):

The people of Syria were mentioned in front of `Ali ibn Abi Talib while he was in Iraq, and they said to him: Curse them, O Commander of the Believers. He replied: No, I heard the Messenger of Allah say: “The Substitutes (al-abdal) are in Syria and they are forty men, every time one of them dies, Allah substitutes another in his place. By means of them Allah brings down the rain, gives (Muslims) victory over their enemies, and averts punishment from the people of Syria.”

al-Haythami said in Majma` al-zawa’id: “The men in its chains are all those of sound hadith except for Sharih ibn `Ubayd, and he is trustworthy (thiqa).” There are more hadiths on the abdal which we cite elsewhere in the present work.]

As the Prophet was travelling he heard someone calling him from his right: “O Muhammad, look at me, I want to ask you something!” But the Prophet did not respond. Then he said: “Who was this, O Jibril?” He replied: “This is the herald of the Jews. If you had answered him your Community would have followed Judaism.”

The Prophet continued travelling and he heard someone calling him from his left: “O Muhammad, look at me, I want to ask you something!” But the Prophet did not respond. Then he said: “Who was this, O Jibril?” He replied: “This is the herald of the Christians. If you had answered him your Community would have followed Christianity.”

The Prophet continued travelling and then passed by a woman with bare arms, decked with every female ornament Allah had created. She said: “O Muhammad, look at me, I need to ask you something.” But he did not look at her. Then he said: “Who was this, O Jibril?” He replied: “This was the world, (al-dunya). If you had answered her, your Community would have preferred the world to the hereafter.”

As the Prophet travelled on, he passed by an old man who was a distance away from his path saying: “Come hither, O Muhammad!” But Jibril said: “Nay, go on, O Muhammad!” The Prophet went on and then said: “Who was this, O Jibril?” He replied: “This was Allah’s enemy, Iblis. He wanted you to incline towards him.”

He went on and passed by an old woman on the roadside who said: “O Muhammad, look at me, I need to ask you something.” But he did not look at her. Then he said: “Who was this, O Jibril?” He replied: “The world has as much left to live as the remaining lifetime of this old woman.”

(al-Shami added:) As he went on he was met by some of Allah’s creatures who said: “Peace be upon you, O First One! Peace upon you, O Last One! Peace be upon you, O Gatherer!” Jibril said to him: “Return their greeting,” and he did. Then he saw them another time and they said the same thing. Then he saw them a third time and again they greeted him. He said: “Who are they, O Jibril?” He replied: “Ibrahim, Musa, and `Isa.”

The Prophet then passed by Musa as he was praying in his grave at a place of red sandhills. He was tall, with long hair and brown complexion, similar to one of the shanu’a — the (Yemeni) men of pure lineage and manly virtue. He was saying with a loud voice: “You have honored him and preferred him!” Then the Prophet greeted him and he returned his greeting. Musa said: “Who is this with you, O Jibril?” He replied: “This is Ahmad.” He said: “Welcome to the Arabian Prophet who acted perfectly with his Community!” and he made an invocation for blessing on his behalf. Then he said: “Ask ease for you Community.”

They continued travelling and the Prophet said: “O Jibril, who was this?” He replied: “This is Musa ibn `Imran.” The Prophet asked: “Who was he reprimanding?” He said: “He is reprimanding his Lord.” The Prophet said: “He reprimands his Lord and raises his voice against his Lord?!” Jibril said: “Allah the Exalted knows Musa’s bluntness.”

He passed by a large tree whose fruit seemed like a thornless berry (of the kind that gives shade to men and cattle). Under it an old man was resting with his dependents. There were lamps and a great light could be seen. The Prophet said: “Who is this, O Jibril?” He replied: “Your father Ibrahim.” The Prophet greeted him and Ibrahim returned his greeting and said: “Who is this with you, O Jibril?” He replied: “This is your son Ahmad.” He said:

Welcome to the unlettered Arabian Prophet who has conveyed the message of his Lord and acted with perfect sincerity with his Community!

O my son, you are going to meet your Lord tonight, and your Community is the last and the weakest of all Communities — therefore, if you are able to have your need fulfilled concerning your Community, or most of it, be sure to do it!

Then he invoked for goodness on his behalf.

They continued travelling until they reached the valley that is in the city — that is: the Hallowed House (Jerusalem) — when lo and behold! the Gehenna was shown to them like a carpet unfolded. They (the Companions) said: “O Messenger of Allah, how was it?” He replied: “Like cinders.”

He continued travelling until he reached the city of the Hallowed House and he entered it by its Southern gate. He dismounted the Buraq and tied it at the gate of the mosque, using the ring by which the Prophets tied it before him. One narration states that Jibril came to the Rock and placed his fingers in it, piercing it, then he tied the Buraq using the spot he had hollowed out.

The Prophet entered the mosque from a gate through which the sun and the moon could be seen when they set. He prayed two cycles of prayer and did not tarry long before a large throng of people had gathered. The Prophet recognized all the Prophets, some standing in prayer, some bowing, some prostrating. Then a caller called out to the prayer and the final call to prayer was made. They rose and stood in lines, waiting for the one who would lead them. Jibril took the hand of the Prophet and brought him forward. He led them in two cycles of prayer.

[Shaykh Muhammad ibn `Alawi said:

This took place before his ascension according to the highest probability. Najm al-Din al-Ghiti said: “The narrations agree to the fact that the Prophet prayed among the other Prophets in Jerusalem before his ascension.” This is one of the two possibilities mentioned by Qadi `Iyad. Hafiz Ibn Hajar said: “This is apparently the case. The second possibility is that he prayed among them after he came down from the heaven, and they came down also.” Ibn Kathir also declared the former scenario as the sound one. Some said: “What is the objection to the possibility that the Prophet prayed among them twice, since some of the hadiths mention that he led them in prayer after his ascent?”]

The following is related from Ka`b: Jibril raised the call to prayer. The angels descended from the heaven. Allah gathered all the Messengers and Prophets. Then the Prophet prayed as the leader of the angels and Messengers. When he left Jibril asked him: “O Muhammad, do you know who prayed behind you?” He said no. Jibril said: “Every single Prophet whom Allah has ever sent.”

(Al-Shami adds:) Abu Hurayra’s narration related by al-Hakim who declared it sound, and by al-Bayhaqi, states: Then the Prophet met the spirits of the Prophets. They glorified their Lord, after which Ibrahim said:

Praise to Allah Who has made taken me as His intimate friend, Who has given me an immense kingdom, Who has made me a prayerful Community and one by whom prayer is led, Who has rescued me from the fire and made it cool and safe for me!

Then Musa glorified his Lord and said:

Praise be to Allah Who has spoken to me directly, Who has brought to pass the destruction of Fir`awn and the salvation of the Children of Israel at my hands, and Who has made from among my Community a people who guide others through truth and establish justice upon it!

Then Dawud glorified his Lord and said:

Praise be to Allah Who has brought me an immense kingdom, Who has softened iron for my hands, and subjected to me the mountains and the birds which laud Him, and has given me wisdom and unmistakable judgment in my speech!

Then Sulayman glorified his Lord and said:

Praise be to Allah Who has subjected the winds to my command as well as the devils, so that they did as I wished and constructed for me elevated sanctuaries, images, large bowls the size of ponds, and vessels fixed in their spot (due to their size), Who has taught me the language of birds and has brought me a part of every good thing, Who has subjected to me the armies of the devils and the birds and has preferred me over many of His believing servants, Who has brought me an immense kingdom which no one after me may possess, and Who has made my kingdom a goodly one wherein there is no reckoning nor punishment!

Then `Isa ibn Maryam glorified his Lord and said:

Praise be to Allah Who has made me His word, Who has fashioned me after Adam’s likeness whom He created out of earth then said to him: Be, and he was, Who has taught me the Book and the Wisdom and the Torah and the Evangel, Who has caused me to heal the blind and the leper and to raise the dead by Allah’s permission, Who has raised me and cleansed me and granted me and my mother protection against the cursed devil, so that the devil had no path by which to harm us! (End of al-Shami’s addition).

Every Prophet then glorified his Lord in the best of language, and the Prophet said:

All of you have glorified their Lord and I am going to glorify my Lord also:

al-hamdu lillah al-ladhi arsalani rahmatan li al-`alamin

wa kaffatan li al-nasi bashiran wa nadhira

wa anzala `alayya al-qur’ana fihi tibyanun li kulli shay’

wa ja`ala ummati khayra ummatin ukhrijat li al-nas

wa ja`ala ummati wasatan

wa ja`ala ummati hum al-awwaluna wa al-akhirun

wa sharaha li sadri wa wada`a anni wazri

wa rafa`a li dhikri

wa ja`alani fatihan khatiman!

Praise belongs to Allah Who has sent me, a mercy to the worlds

Sent to all without exception, a bearer of glad tidings and a warner,

Who has caused to descend upon me the Qur’an in which there is a perfect exposition of all things,

Who has made my Community the best Community ever brought out for the benefit of mankind,

Who has made my Community a mean and a middle,

Who has made my Community in truth the first and the last of all Communities,

Who has expanded my breast and has relieved me of my burden,

Who has exalted my name,

And has made me the Opener and the Sealer!

Upon hearing this Ibrahim said: “In this has Muhammad bested you!”

Then they brought up the matter of the Hour and referred it to Ibrahim, but he said: “I have no knowledge of it.” They turned to Musa but he said: “I have no knowledge of it.” They turned to `Isa and he said:

As for the time when it shall befall, no one knows it except Allah. As for what my Lord has assured me (concerning what precedes it), then: the Dajjal or Antichrist will come forth and I will face him with two rods. At my sight he shall melt like lead: Allah shall cause his destruction as soon as he sees me. It will be so that the very stones will say: O Muslim, behind me hides a disbeliever, therefore come and kill him! And Allah shall cause them all to die.

People will then return to their countries and nations. At that time Ya’juj and Ma’juj (Gog and Magog) shall come out. They will come from every direction. They will trample all nations underfoot. Whatever they come upon they will destroy. They will drink up every body of water.

At last the people will come to me complaining about them. At that time I will invoke Allah against them so that He will destroy them and cause their death until the whole earth will reek of their stench. Allah will send down rain which shall carry their bodies away and hurl them into the sea.

I have been assured by my Lord that once all this takes place then the Hour will be as the pregnant mother at the last stages of her pregnancy. Her family does not know when she shall suddenly give birth by night or by day. (End of al-Shami’s addition)

The Prophet then felt the greatest thirst that he had ever felt, whereupon Jibril brought him a vessel of wine and a vessel of milk. He chose the latter. Jibril said: “You have chosen fitra – natural disposition – and if you had drunken the wine, your Community would have strayed from the right way and none but a few of them would have followed you.”

[The Prophet said, “Every child is born with a natural disposition (kullu mawludin yuladu `ala al-fitra); then his parents convert him to Judaism, or Christianity, or Zoroastrianism. It is the same with the animal which delivers a perfect baby animal. Do you find it missing anything?” Bukhari narrates it. Muslim omits the mention of the animal. Tirmidhi’s narration (hasan sahih) also omits it, but adds: “O Messenger of Allah, what if the child dies before that?” He replied: “Allah knows best what they would have done.”

The hadith master al-Zabidi said in his commentary on Ghazali’s Ihya’ entitled Ithaf al-sadat al-muttaqin bi sharh ihya’ `ulum al-din (The gift of the godwary masters: commentary on Ghazali’s “Giving life to the sciences of the Religion”): “Born with a natural disposition: the definite case indicates that it is commonly known, and it consists in Allah’s disposition with which He endows all people, that is, the innate character with which He creates them and which predisposes them to accept Religion and to differentiate between the wrong and the right.”23]

Another narration states: There were three vessels and the third contained water. Jibril said: “If you had drunk the water your Community would have perished by drowning.”

Another narration states that one of the vessels presented to him contained honey instead of water, and that he then saw the wide-eyed maidens of Paradise to the left of the Rock. He greeted them and they returned his greeting. Then he asked them something and they replied with an answer that cools the eyes.

Then the Prophet was brought the ladder by which the spirits of the children of Adam ascend. Creation never saw a more beautiful object. It had alternate stairs of silver and gold and came down from the Highest and Amplest Garden of Paradise, Jannat al-firdaws. It was incrusted with pearls and surrounded with angels on its right and left.

The Prophet began his ascent with Jibril until they reached one of the gates of the nearest heaven called Bab al-hafazha. There an angel stood guard, named Isma`il, who was the custodian of the nearest heaven. He inhabits the wind. He never ascends to the heaven nor descends to earth except on the day that the Prophet died, blessings and peace upon him. In front of him stood seventy thousand angels, each angel commanding an army of seventy thousand more.

Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. When they came in they saw Adam, peace be upon him, the father of humanity, as he was on the day Allah created him in his complete form. The spirits of the Prophets and of his believing offspring were being shown to him, whereupon he would say: “A goodly spirit and a goodly soul, put her in the Highest! (`illiyyin).” Then the spirits of his unbelieving offspring would be shown to him and he would say: “A foul spirit and a foul soul, put her in the lowest layer of Hell! (sijjin).

The Prophet saw to Adam’s right great dark masses and a gate exuding a fragrant smell, and to his left great dark masses and a gate exuding a foul, malodorant smell. Whenever Adam looked to his right he would smile and be happy, and whenever he looked to his left he would be sad and weep. The Prophet greeted him and Adam returned his greeting and said: “Welcome to the righteous son and the righteous Prophet!”

The Prophet said: “What is this, O Jibril?” He replied: “This is your father Adam and the dark throngs are the souls of his children. Those on the right are the people of Paradise and those on the left are the people of the Fire. Whenever he looks to his right he smiles and is glad, and whenever he looks to his left he is sad and weeps. The door to his right is the gate of Paradise. Whenever he sees those of his offspring enter it he smiles happily. The door to his left is the gate of Gehenna. Whenever he sees those of his offspring enter it he weeps sadly.

(al-Shami added:) Then the Prophet continued for a little while. He saw a tablespread on which there were pieces of (good) meat which no one approached, and another tablespread on which were pieces of rotten meat which stank, surrounded by people who were eating it. The Prophet asked: “O Jibril, who are these?” He replied: “These are those of your Community who abandon what is lawful and go to what is unlawful.”

(One version says:) The Prophet saw a great deal of people gathered around a tablespread on which was set grilled meat of the best kind one had ever seen. Near the table there was some carrion decaying. The people were coming to the carrion to eat from it, and they were leaving the grilled meat untouched. The Prophet asked: “Who are they, O Jibril?” He replied: “The adulterers (al-zunat): they make lawful what Allah has made unlawful, and they abandon what Allah has made lawful for them.”

Then the Prophet went on for a little while. He saw groups of people who had bellies as large as houses, and there were snakes in them which could be seen through their skins. Every time one of those people stood up he would fall again and he would say: “O Allah, don’t make the Hour of Judgment rise yet!” Then they meet the people of Fir`awn on the road and the latter trample them underfoot. (The Prophet said:) “I heard them clamoring to Allah.” He asked: “O Jibril, who are these?” He replied: “They are those of your Community who eat up usury. They cannot stand up except in the manner of those whom the Shaytan touches with possession.”

Then the Prophet went on for a little while. He saw groups of people whose lips resembled the lips of camels. Their mouths were being pried open and they would be stoned. One version says: A rock from Gehenna was placed in their mouths and then it would come out again from their posteriors. (The Prophet said:) “I heard them clamoring to Allah.” He asked: “O Jibril, who are these?” He replied: “They are those of your Community who eat up the property of orphans and commit injustice. They are eating nothing but a fire for their bellies, and they shall be roasted in it.”

Then the Prophet went on for a little while. He saw women suspended by their breasts and others hanging upside down, (and the Prophet said:) “I heard them clamoring to Allah.” He asked: “Who are these, O Jibril?” He replied: “These are the women who commit fornication and then kill their children.”

Then the Prophet went on for a little while. He saw groups of people whose sides were being cut off for meat and they were being devoured. They were being told: “Eat, just as you used to eat the flesh of your brother.” The Prophet said: “O Jibril, who are these?” He replied: “They are the slanderers of your Community who would bring shame to others.” (End of al-Shami’s addition.)

Then the Prophet continued for a little while, and he found the consumers of usury and of the property of orphans, and the fornicators and adulterers, and others, in various loathsome states as those that have been described, and worse.

Then they ascended to the second heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. When they came in they saw the sons of the two sisters: `Isa ibn Maryam and Yahya ibn Zakariyya. They resembled each other in clothing and hair. Each had with him a large company of their people. `Isa was curly-haired, of medium build, leaning towards fair complexion, with hair let down as if he were coming out of the bath. He resembles `Urwa ibn Mas`ud al-Thaqafi.

[One of the dignitaries of the town of Ta’if. Ibn Hajar in his Isaba relates that he alone responded to the Prophet’s invitation to that city by following him and declaring his acceptance of Islam. Then he asked for permission to return to his people and speak to them. The Prophet said: “I fear lest they harm you.” He said: “They would not even wake me up if they saw me sleeping.” Then he returned. When he began to invite them to Islam, they rejected him. One morning as he stood outside his house making adhan, a man shot him with an arrow. As he lay dying he was asked: “What do you think about your death now?” He replied: “It is a gift given me out of Allah’s generosity.” When news of this reached the Prophet he said: “He is like the man of Ya Sin when he came to his people,” a reference to 36:20-27.

Ibn Hajar also mentions that it is from `Urwa that Abu Nu`aym narrated (with a weak chain) that the Prophet took the women’s pledge of allegiance at Hudaybiyya by touching the water of a pail in which they had dipped their hands.]

The Prophet greeted them and they returned his greeting. Then they said: “Welcome to the righteous brother and the righteous Prophet!” Then they invoked for goodness on his behalf.

After this the Prophet and Jibril ascended to the third heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. When they came in they saw Yusuf, and with him stood a large company of his people. The Prophet greeted him and he returned his greeting and said: “Welcome to the righteous brother and the righteous Prophet!” Then he invoked for goodness on his behalf.

Yusuf had been granted the gift of beauty. One narration says: He was the most handsome creation that Allah had ever created and he surpassed people in beauty the way the full moon surpasses all other stars. The Prophet asked: “Who is this, O Jibril?” He replied: “Your brother Yusuf.”

Fourth Heaven

Then they ascended to the fourth heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. When they came in they saw Idris. Allah exalted him to a lofty place. The Prophet greeted him and he returned his greeting and said: “Welcome to the righteous brother and the righteous Prophet!” Then he invoked for goodness on his behalf.

Fifth Heaven

Then they ascended to the fifth heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. When they came in they saw Harun. Half of his beard was white and the other half was black. It almost reached his navel due to its length. Surrounding him were a company of the children of Israel listening to him as he was telling them a story. The Prophet greeted him and he returned his greeting and said: “Welcome to the righteous brother and the righteous Prophet!” Then he invoked for goodness on his behalf. The Prophet asked: “Who is this, O Jibril?” He replied: “This is the man who is beloved among his people, Harun ibn `Imran.”

Sixth Heaven

Then they ascended to the sixth heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. The Prophet passed by Prophets who had with them less than ten followers in all, while others had a large company, and others had not even one follower.

Then he saw a huge dark mass (sawad `azhim) that was covering the firmament. He said: “What is this throng?” He was told: “This is Musa and his people. Now raise your head and look.” He raised his head and saw another huge dark mass that was covering the firmament from every direction he looked. He was told: “These are your Community, and besides these there are seventy thousand of them that will enter Paradise without giving account.”

As they went in the Prophet saw Musa ibn `Imran (again), a tall man with brown complexion, similar to one of the shanu’a — the (Yemeni) men of pure lineage and manly virtue — with abundant hair. If he had two shirts on him, still his hair would exceed them. The Prophet greeted him and he returned his greeting and said: “Welcome to the righteous brother and the righteous Prophet!” Then he invoked for goodness on his behalf and said: “The people claim that among the sons of Adam I am more honored by Allah than this one, but it is he who is more honored by Allah than me!”

When the Prophet reached him Musa wept. He was asked: “What is it that makes you weep?” He replied: “I weep because a child that was sent after me will enter more people in Paradise from his Community than will enter from mine. The children of Israel claim that among the children of Adam I am the one most honored by Allah, but here is one man among the children of Adam who has come after me in the world while I am in the next world (and is more honored). If he were only by himself I would not mind, but he has his Community with him!”

[This is the proof of the famous saying of the master Abu Yazid al-Bistami: “We have crossed an ocean on the shore of which the Prophets stood befuddled.” That is: We — the Last Community — have been granted, in the person of the Seal of Prophets, levels of knowledge, election, and divine favor which previous Prophets have longed to receive. This does not contradict the tenet of Ahl al-Sunna expressed by Imam al-Tahawi in his `Aqida whereby “A single Prophet is higher in rank than all awliya’ put together.”]

Seventh Heaven

Then they ascended to the seventh heaven. Jibril asked for the gate to be opened. Someone said:

– “Who is this?”

– “Jibril.”

– “Who is with you?

– “Muhammad.”

– “Has he been sent for?”

– “Yes.”

– “Welcome to him, from his family! May Allah grant him long life, a brother (of ours) and a deputy (of Allah), and what excellent brother and deputy! What an excellent visit is this!”

The gate was opened. The Prophet saw Ibrahim the Friend sitting at the gate of Paradise on a throne of gold the back of which was leaning against the Inhabited House (al-Bayt al-ma`mur). With him were a company of his people. The Prophet greeted him and he returned his greeting and said: “Welcome to the righteous son and the righteous Prophet!”

[Shaykh Muhammad ibn `Alawi said: “ma`mur means inhabited with the remembrance of Allah and the great number of angels.”]

Then Ibrahim said: “Order your Community to increase their seedlings of Paradise for its soil is excellent and its land is plentiful.” The Prophet said: “What are the seedlings of Paradise?” He replied: la hawla wa la quwwata illa billah al-`ali al-`azhim “There is no change nor might except with Allah the High, the Almighty.”

Another version says:

Convey my greetings to your Community and tell them that Paradise has excellent soil and sweet water, and that its seedlings are:

subhan allah: Glory to Allah
wa al-hamdu lillah
: and Praise to Allah
wa la ilaha illallah: and there is no god but Allah
wallahu akbar: and Allah is greatest.

With Ibrahim were sitting a company of people with pristine faces similar to the whiteness of a blank page, and next to them were people with something in their faces. The latter stood and entered a river in which they bathed. Then they came out having purified some of their hue. Then they entered another river and bathed and came out having purified some more. Then they entered a third river and bathed and purified themselves and their hue became like that of their companions. They came back and sat next to them.

The Prophet said: “O Jibril, who are those with white faces and those who had something in their hues, and what are these rivers in which they entered and bathed?” He replied: “The ones with white faces are a people who never tarnished their belief with injustice or disobedience; those with something in their hues are a people who would mix good deeds with bad ones, then they repented and Allah relented towards them. As for these rivers, then the first is Allah’s mercy (rahmatullah), the second his favor (ni`matullah), and the third and their Lord gave them a pure beverage to drink (wa saqahum rabbuhum sharaban tahuran) (76:21).”

Then the Prophet was told: “This is your place and the place of your Community.” He saw that his Community were divided into two halves: one half were wearing clothes that seemed as white as a blank page, the other were wearing clothes that seemed the color of ashes or dust. He entered the Inhabited House and those who were wearing the white clothes entered with him. Those that wore ash-colored clothes were no longer able to see him, and yet they were in the best of states. The Prophet prayed in the Inhabited House together with those of the believers that were with him.

Every day seventy thousand angels enter the Inhabited House, who shall never return to it until the Day of Resurrection. This House is exactly superposed to the Ka`ba. If one stone fell from it it would fall on top of the Ka`ba. The angels who have entered it never see it again.

One version states that the presentation of the three vessels, the Prophet’s choice of the vessel of milk, and Jibril’s approval took place at this point.

(al-Shami adds:) al-Tabarani cites this hadith with a sound chain: “The night I was enraptured I passed by the heavenly host, and lo and behold! Jibril was like the worn-out saddle-cloth on the camel’s back from fear of his Lord.” One of al-Bazzar’s narrations states: “like a saddle-blanket that clings to the ground.”

[Shaykh Muhammad ibn `Alawi said: “Of the same meaning is the hadith: kun hilsan min ahlasi baytik Be one of the saddle blankets of your house, that is: keep to it in times of dissension.]

The Lote-Tree of the Farthest Limit

Then the Prophet was raised up to the Lote-Tree of the Farthest Limit. There ends whatever ascends from the earth before it is seized, and whatever descends from above before it is seized.

[al-Dardir said: “This is the eighth ascension, meaning that it is the ascension to what is higher than the Lote-tree by means of the eighth step, so that the Prophet reached the top height of its branches in the eighth firmament which is called al-Kursi — the Chair, or Footstool — which is made of a white pearl. This is found in al-Qalyubi, and it is the apparent sense of the account. However, it is contradicted by what is mentioned later: “Then he came to the Kawthar,” because the Kawthar, like the remainder of the rivers, flows from the base of the Tree, not from its top, and the account goes on to say after this: “Then he was raised up to the Lote-tree of the Farthest Limit.” It follows that the raising up to the Lote-tree took place more than once, but undoubtedly this is dubious for whoever ponders it. I saw in al-Ajhuri’s account here: “Then he came to the Lote-tree of the farthest boundary, there ends etc.” and this is correct as it does not signify being raised up. This makes it clear that he came to the Tree and saw at its base the rivers — which are soon to be mentioned — and he travelled towards the Kawthar. What the narrator said later: “Then he was raised to the Lote-tree of the Farthest Limit etc.” indicates that the eighth ascension took place at that later point and that the present stage is only an exposition of his coming to the base of the Tree which is in the seventh heaven. Another narration states that it is in the sixth heaven. What harmonizes the two is that its base is in the sixth heaven while its branches and trunk are in the seventh.”]

It is a tree from the base of which issue rivers whose water is never brackish (it does not change in taste, or color, or smell, and the sweat of those who drink it in Paradise has the fragrance of musk); and rivers of milk whose taste does not change after it is drunk; and rivers of wine which brings only pleasure to those who drink it; and rivers of purified honey. Someone on his mount could travel under its shade for seventy years and still not come out of it. The lotus fruit that grows on it resembles the jars of Hijar (near Madina). Its leaves are shaped like the ears of the she-elephant, and each leaf could wrap up this Community entirely. One version says: One of its leaves could wrap up all creatures.

On top of each leaf there was an angel who covered it with colors which cannot be described. Whenever he covered it by Allah’s order it would change. One version says: It would turn into sapphire and chrysolite the beauty of which it is impossible for anyone to praise according to what its merit. On it were moths of gold.

From the base of the tree issued four (more) rivers: two hidden rivers and two visible ones. The Prophet asked: “What are these, O Jibril? He replied: “As for the hidden ones, they are two rivers of Paradise. The visible ones are the Nile and the Euphrates.”

[Ibn Kathir said: What is meant by this, and Allah knows best, is that these two rivers (the Nile and the Euphrates) resemble the rivers of Paradise in their purity and sweetness and fluidity and such of their qualities, as the Prophet said in the hadith narrated by Abu Hurayra: al-`ajwa min al-janna “Date pastry is from paradise,” that is: it resembles the fruit of Paradise, not that it itself originates in Paradise. For if that were the meaning then the senses would testify to the contrary. Therefore the meaning which imposes itself is other than that. Similarly the source of origin of these rivers is on earth.]

(al-Shami added:) One version says: At the base of the tree ran a source called Salsabil. From it issued two rivers: one is the Kawthar. (The Prophet said:) “I saw it flowing impetuously, roaring, at the speed of arrows. Near it were pavilions of pearl (lu’lu’), sapphire (yaqut), and chrysolite (zabarjad) on top of which nested green birds more delicate than any you have ever seen. On its banks were vessels of gold and silver. It ran over pebbles made of sapphire and emerald (zumurrud). Its water was whiter than milk.”

The Prophet took one of the vessels and scooped some water and drank. It was sweeter than honey and more fragrant than musk. Jibril said to him: “This is the river which Allah has given you as a special gift, and the other river is the River of Mercy.” The Prophet bathed in it and his past and future sins were forgiven. (End of al-Shami’s addition.)

One version says: At the Lote-tree of the Farthest Limit the Prophet saw Jibril (in his angelic form). He had six hundred wings. Every single wing could cover the entire firmament. From his wings embellishments were strewn in all directions, such as rare pearls and sapphires of a kind Allah alone knows. Then the Prophet was taken to the Kawthar and entered Paradise. Lo and behold! It contains what no eye has seen, nor ear heard, nor human mind ever imagined. On its gate he saw written:

al-sadaqatu bi `ashrin amthaliha
wa al-qardu bi thamaniyati `ashara

Charity is repaid tenfold,
and the loan eighteenfold.

The Prophet said: “O Jibril, how can the loan be more meritorious than charity?” He replied: “Because one asking for charity may still have some need left, while the borrower does not borrow except his need is fulfilled.”

The Prophet continued to travel until he reached rivers of milk whose taste does not change, and rivers of wine which bring only pleasure to those who drink it, and rivers of honey purified, and overhanging those rivers were domes of hollowed pearl whose circumference is like the Aquarius star.

Another narration says:

Above the rivers were pommels resembling the hides of the humped camels. Its birds were like the Bactrian camel. Upon hearing this Abu Bakr said: “O Messenger of Allah, they are certainly delicate!” The Prophet replied: “And daintier to eat yet, and certainly I hope that you shall eat from them.”

[This is an indication of the rank of Abu Bakr in Paradise, as the Prophet’s hope, like his petition, is granted. Shaykh Muhammad ibn `Alawi said: “From all this it can be known that Paradise and the Fire exist already, that the Lote-tree of the Farthest Boundary is outside Paradise, ]

The Prophet then saw the Kawthar and on its banks were domes of hollowed pearl. The soil of its banks was overfragrant musk. Then the Fire was shown to him. In it he saw Allah’s wrath and His punishment and sanction. Were rocks and iron to be thrown into it the Fire would consume them completely. In it were a people who were eating carrion. The Prophet said: “Who are these, O Jibril?” He replied: “Those who ate the flesh of people.” Then the Prophet saw Malik, the custodian of the Fire. He was a grim figure whose face expressed anger. The Prophet greeted him first. Then the gates of the Fire were closed as he stood outside, and he was raised up beyond the Lote-tree of the Farthest Limit, and a cloud concealed him from everything else, and Jibril stayed back.

[Shaykh Muhammad ibn `Alawi said: The Prophet’s greeting of Malik before Malik greeted him first agrees with the subsequent wording of more than one narrator whereby the Prophet said: “I greeted him and he returned my greeting and welcomed me, but he did not smile at me” etc. and this is found in some of the narrations. However, the correct narration, as the compiler and others have said, is that it is Malik who greeted the Prophet first in order to dispel the harshness of his sight since his face showed severity and anger. It is possible to harmonize the two versions with the fact that the Prophet saw Malik more than once, so that Malik was first to greet the Prophet the first time, as we said, while the Prophet was first to greet Malik second time, in order to dispel estrangement and to inspire familiarity. Know also that the Prophet’s sight of Malik was not in the same form that those who are being punished see him.]

The Prophet was taken up to a point where he heard the screeching of the Pens (writing the divine Decree). He saw a man who had disappeared into the light of the Throne. He said: “Who is this? Is this an angel?” It was said to him, no. He said: “Is it a Prophet?” Again the answer was no. He said: “Who is it then?” The answer was: “This is a man whose tongue was moist with Allah’s remembrance in the world, and his heart was attached to the mosques, and he never incurred the curse of his father and mother.”

Then the Prophet saw his Lord, the Glorious, the Exalted, and he fell prostrate, and at that time his Lord spoke to him and said: “O Muhammad!” He replied: “At your service, O Lord!” Allah said: “Ask! (sal).” The Prophet said:

You have taken to Yourself Ibrahim as a friend, and You have given him an immense kingdom. You have spoken to Musa directly, and have given Dawud an immense kingdom and softened iron and subjected the mountains to him. You have given Sulayman an immense kingdom, and subjected the jinn and men and devils to him, as well as the winds, and You have given him a kingdom the like no one may have after him. You have taught `Isa the Torah and the Evangel, and made him heal those born blind and the lepers, and raise up the dead with Your permission, and You have protected him and his mother from the cursed devil so that the devil had no path by which to harm them!

Allah said: “And I have taken you to Myself as My beloved.” The narrator said: It is written in the Torah: habibullah “Allah’s Beloved.” Allah continued:

And I have sent you for all people without exception,
a bearer of glad tidings and a warner;
and I have expanded your breast for you
and relieved you of your burden
and exalted your name;
and I am not mentioned except you are mentioned with Me;
and I have made your Community the best Community ever brought out for the benefit of mankind;
and I have made your Community a mean and a middle;
and I have made your Community in truth the first
and the last of all Communities;
and I have made public address
(al-khutba) impermissible for your Community unless they first witness that you are My servant and Messenger;
and I have placed certain people in your Community with Evangels for hearts (i.e. repositories of Allah’s Book);
and I have made you the first Prophet created and the last one sent and the first one heard in My court;
and I have given you Seven of the Oft-Repeated which I gave to no other Prophet before you (i.e. Surat al-Fatiha);
and I have given you the last verses of Surat al-Baqara which constitute a treasure from under My Throne which I gave to no other Prophet before you;
and I have given you the Kawthar; and I have given you eight arrows (i.e. shares in good fortune): Islam, Emigration
(hijra), Jihad, Charity (sadaqa), Fasting Ramadan, Ordering Good, and Forbidding Evil;
and the day I created the heavens and the earth I made obligatory upon you and upon your Community fifty prayers: therefore establish them, you and your Community.”

(al-Shami added:) Abu Hurayra said: Allah’s Messenger said:

My Lord has preferred me over everyone else (faddalani rabbi):
He has sent me as a mercy to the worlds and to all people without exception,
a bearer of glad tidings and a warner;
He has thrown terror into the hearts of my enemies at a distance of a month’s travel;
He has made spoils of war lawful for me while they were not lawful for anyone before me;
the entire earth has been made a ritually pure place of prostration for me;
I was given the words that open, those that close, and those that are comprehensive in meaning (i.e. I was given the apex of eloquence);
My Community was shown to me and there is none of the followers and the followed but he is known to me;
I saw that they would come to a people that wear hair-covered sandals;
I saw that they would come to a people of large faces and small eyes as if they had been pierced with a needle;
nothing of what they would face in the future has been kept hidden from me;
and I have been ordered to perform fifty prayers daily.

And he has been given three particular merits: He is the master of Messengers (sayyid al-mursalin), the Leader of the Godwary (imam al-muttaqin), and the Chief of those with signs of light on their faces and limbs (qa’id al-ghurr al-muhajjalin). (End of al-Shami’s addition.)

One narration says:

The Prophet was given the five daily prayers and the last verses of Surat al-Baqara, and (for his sake) whoever of his Community does not associate anything with Allah is forgiven even the sins that destroy.

Then the cloud that cloaked him was dispelled and Jibril took him by the hand and hurried away with him until he reached Ibrahim, who did not say anything. Then the Prophet reached Musa who asked: “What did you do, O Muhammad? What obligations did your Lord impose on you and your Community?” He replied: “He imposed fifty prayers every day and night on me and my Community.” Musa said: “Return to your Lord and ask Him to lighten your burden and that of your Community for in truth your Community will not be able to carry it. Verily I myself have experienced people’s natures before you. I tested the Children of Israel and took the greatest pains to hold them to something easier than this, but they were too weak to carry it and they abandoned it. Your Community are even weaker in their bodies and constitutions, in their hearts, in their sight, and in their hearing.”

The Prophet turned to Jibril to consult him. The latter indicated to him that yes, if you wish, then return. The Prophet hurried back until he reached the Tree and the cloud cloaked him and he fell prostrate. Then he said: “Lord, make lighter the burden of my Community for verily they are the weakest of all Communities.” He replied: I have removed five prayers from their obligation.”

Then the cloud was dispelled and the Prophet returned to Musa and told him: “He has removed five prayers from my obligation.” He replied: “Go back to your Lord and ask him to make it less, for in truth your Community will not be able to carry that.” The Prophet did not cease to go back and forth between Musa and his Lord, while Allah each time reduced it by five prayers, until Allah said: “O Muhammad!” The Prophet said: “At Your service, O Lord!” He said: “Let them be five prayers every day and night, and let every prayer count as ten. That makes fifty prayers. This word of Mine shall not be changed nor shall My Book be abrogated. Let whoever is about to perform a good deed, even if he does not ultimately do it, receive the reward of doing it, while if he does it, he shall receive it tenfold. Let whoever is about to commit a bad deed, and he does not ultimately do it, let not anything be written against him, while if he does it, let one misdeed be written against him.”

Then the cloud was dispelled and the Prophet returned to Musa and told him: “He has removed five prayers from my obligation.” He replied: “Go back to your Lord and ask him to make it less, for in truth your Community will not be able to carry that.” The Prophet said: “I have gone back again to my Lord until I feel shy from Him. Rather, I accept and submit.” At this a herald called out: “I have decreed My obligation and have reduced the burden of My servants.” Musa then said to the Prophet: “Go down in the name of Allah.”

The Prophet did not pass a throng of angels except they said to him: “You must practice cupping (`alayka bi al-hijama),” and in another version: “Order cupping to your Community.”

[Cupping: The process of drawing blood from the body by scarification (scratches or superficial incisions in the skin) and the application of a cupping glass (in which a partial vacuum is created, as by heat) without scarification, as for relieving internal congestion. Webster’s.]

As the Prophet was descending he asked Jibril: “Why did I not see any of the people of heaven except they welcomed me and smiled at me except one: I greeted him and he greeted me back and welcomed me, but he did not smile at me?” He replied: “That was Malik the custodian of the Fire. He never smiled once since the day he was created. If he had ever smiled for anyone, it would have been you.”

When the Prophet reached the nearest heaven he looked below it and he saw a dense cloud of smoke filled with din. He asked: “What is this, O Jibril?” He replied: “These are the devils that swarm over the eyes of human beings so that they will not think about the dominions of the heavens and the earth, or else they would have seen wonders.”

Then he mounted the Buraq again (which he had tied in Jerusalem) and departed. He passed by a caravan of the Quraysh in such-and-such a place (the narrator forgot the name) and saw a camel upon which were tied two containers, a black one and a white one. When he came face to face with the caravan there was a stampede in which the caravan turned around and that camel was thrown down to the ground and its freight broke.

Then the Prophet passed by another caravan who had lost one of their camels which the tribe of So-and-so had rounded up. The Prophet greeted them and one of them said: “This is the voice of Muhammad!” after which the Prophet returned to his Companions in Mecca shortly before morning.

When morning came he remained alone and, knowing that people would belie him, sat despondently. The enemy of Allah Abu Jahl was passing by and he approached and sat down next to him, saying in the way of mockery: “Has anything happened?” The Prophet replied: “Yes.” Abu Jahl said: “And what is that?” The Prophet replied: “I was enraptured last night.” Abu Jahl said: “To where?” The Prophet replied: “To the Hallowed House.” Abu Jahl said: “Then you woke up here among us?” He replied: “Yes.”

Abu Jahl decided not to belie the Prophet for fear the Prophet would deny having said this to him if he went and told the people of Mecca, so he said: “What do you think if I called your people here? Will you tell them what you just told me?” The Propeht said yes. Abu Jahl cried out: “O assembly of the Children of Ka`b ibn Lu’ay, come hither!” People left their gatherings and came until they all sat next around the two of them. Abu Jahl said: “Tell your people what you just told me.” Allah’s Messenger said: “I was enraptured last night.” They said: “To where?” The Prophet replied: “To the Hallowed House.” They said: “Then you woke up here among us?” He replied: “Yes.” There was no one left except he clapped his hands, or held his head in amazement, or clamored and considered it an enormity.

Al-Mut`im ibn `Adi (he died a disbeliever) said: “All of your affair before today was bearable, until what you said today. I bear witness that you are a liar (ana ashhadu annaka kadhibun). We strike the flanks of the she-camels for one month to reach the Hallowed House, then for another month to come back, and you claim that you went there in one night! By al-Lat, by al-`Uzza! I do not believe you.”

Abu Bakr said: “O Mut`im, what an evil thing you said to the son of your brother when you faced him thus and declared him a liar! As for me I bear witness that he spoke the truth (ana ashhadu annahu sadiqun).”

The people said: “O Muhammad, describe the Hallowed House for us. How is it built, what does it look like, how near is it to the mountain.” There were some among them who had travelled there. He began to describe it for them: “Its structure is like this, its appearance like this, its proximity to the mountain is such-and-such,” and he did not stop describing it to them until he began to have doubt about the description. He was seized with an anxiety he had not felt before, whereupon he was immediately brought to the mosque itself (in Jerusalem) and saw it in front of him. He was placed outside the gate of `Aqil or `Iqal. The people said: “How many gates does the mosque have?” He had not counted them before. He looked at the gates and began to count them one by one and to inform them. All the while Abu Bakr was saying: “You have spoken the truth. You have spoken the truth. I bear witness that you are the Messenger of Allah (sadaqta sadaqta ashhadu annaka rasulullah).”

The people said: “As for the description, then, by Allah, he is correct.” They turned to Abu Bakr and said: “But do you believe what he said, that he went last night to the Hallowed House and came back before morning?” He replied: “Yes, and I do believe him regarding what is farther than that. I believe the news of heaven he brings, whether in the space of a morning or in that of an evening journey (na`am inni la usaddiquhu fima huwa ab`adu min dhalika usaddiqu bi khabari al-sama’i fi ghudwatin aw rawhatin).” Because of this Abu Bakr was named al-Siddiq: the Most Truthful, the One Who Never Lies.

Then they said: “O Muhammad, tell us about our caravans.” He replied: “I saw the caravan of the tribe of So-and-so as I was coming back. They had lost one of their camels and were searching for it everywhere. I reached their mounts and there was no one with them. I found a water bottle and I drank from it.”

[Shaykh Muhammad ibn `Alawi said: Doubt has been raised about this report on the basis of the question how could he allow himself to drink the water without permission from its owner? The answer is that he acted according to the custom of the Arabs whereby they never refuse milk to whomever passes by and takes it, a fortiori water, and they used to instruct the herdsmen not to prevent wayfarers from taking milk from the herd (i.e. without asking the owner), and this applies even more to water. Furthermore, the Prophet comes before the Believers’ own selves and properties, and this applies even more to the unbelievers.]

(The Prophet continued:) “Then I reached the caravan of the tribe of So-and-so in such-and-such a place. I saw a red camel carrying one black container and one white one. When I came face to face with the caravan there was a stampede and that camel fell and its freight broke. Then I reached the caravan (not previously mentioned) of the tribe of So-and-so in al-Tan`im. It was headed by a grayish camel on which was a black hair-cloth and two blackish containers and here are the (three) caravans about to reach you from the mountain pass.” They said: “When will they arrive?” He replied: “On the fourth day of the week.” On that day the Quraysh came out, expecting the caravans. The day passed and they did not arrive. The Prophet made an invocation and the day was extended one more hour during which the sun stood still, and the caravans came.

They went to meet the riders and asked them: “Did you lose a camel?” They said yes. They asked the second caravan: “Did one red camel of yours shatter her freight?” They said yes. They asked (the first caravan): “Did anyone lose a water bottle?” One man said: “I did, by Allah, I had prepared it but none of us drank it nor was it spilled on the ground!” At this they accused the Prophet of sorcery and they said: “al-Walid spoke the truth.” And Allah revealed the verse:

wa ma ja`alna al-ru’ya al-lati araynaka illa fitnatan li al-nas

We appointed not the vision which we showed you but as a test for mankind. (17:60)

[Ibn Hisham narrates: When the fair was due, a number of the Quraysh came to al-Walid ibn al-Mughira, who was a man of some standing, and he addressed them in those words: “The time of the fair has come round again and representatives of the Arabs will come to you and they will have heard about this fellow of yours, so agree upon one opinion without dispute so that none will give the lie to the other.” They replied: “You give us your opinion about him.” He said: “No, you speak and I will listen.” They said: “He is a kahin (seer or giver of oracles).” He said: “By Allah, he is not that, for he has not the unintelligent murmuring and rhymed speech of the kahin.” “Then he is possessed,” they said. “No, he is not that,” he said, “we have seen possessed ones, and here is no choking, spasmodic movements and whispering.” “Then he is a poet,” they said. “No, he is no poet, for we know poetry in all its forms and meters.” “Then he is a sorcerer.” “No, we have seen sorcerers and their sorcery, and here is no blowing and no knots.” “Then what are we to say, O Abu `Abd al-Shams?” they asked. He replied: “By Allah, his speech is sweet, his root is a palm-tree whose branches are fruitful, and everything you have said would be known to be false. The nearest thing to the truth is your saying that he is a sorcerer, who has brought a message by which he separates a man from his father, or from his brother, or from his wife, or from his family.”

At this point they left him, and began to sit on the paths which men take when they come to the fair. They warned everyone who passed them about the Prophet’s doings. Allah revealed concerning al-Walid:

Leave Me to deal with him whom I created lonely,
and then bestowed upon him ample means,
and sons abiding in his presence
and made life smooth for him.
Yet he desires that I should give more.
Nay, for lo! He has been stubborn to Our revelations.
On him I shall impose a fearful doom.
For lo! He did consider; then he planned —
Self-destroyed is he, how he planned!
Again, self-destroyed is he, how he planned! —
Then looked he,
Then frowned he and showed displeasure.
Then turned he away in pride
and said: This is naught else than magic from of old;
This is naught else than speech of mortal man.
Him shall I fling unto the burning. (74:11-26)]

The account is finished with praise to Allah and by His grace.

May Allah send blessings and utmost, abundant greetings upon our Master Muhammad and his Family and Companions, and praise belongs to Allah the Lord of the worlds!

PIAGAM MADINAH

Preambule: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.

Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 10: Banu al-‘Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.

Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.

Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).

Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.

Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

Pasal 38: Kamu Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.

Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

Pasal 46: Kaum yahudi al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.

Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.

Gagasan Pendidikan Ibnu Sina

Sejarah Ibnu Sina

Ibnu Sina (9801037) dikenal juga sebagai Avicenna di dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Hasan bin Ali bin Sīnā (dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن حسن بن علي بن سينا). Ibnu Sina lahir pada  370 H di Afsyahnah daerah dekat Bukhara[1], sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).

Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern”. George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu”. Hasil karyanya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).

Kehidupannya dikenal lewat sumber-sumber berkuasa. Suatu autobiografi membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H / 980 M di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.

Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.

Ibnu Sina dididik di bawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman di antara para tetangganya. Dia  menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika Aristoteles, kendati sudah 40 kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li Aristho Al-Farabi (870 – 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.

Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat-obat yang sesuai”. Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama kemudian, musuh-musuh Ibnu Sina menuduh dia yang membakarnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Dinasti Samanid menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat-bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.

Ibnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah. saat itu dia sedang sakit parah tetapi tetap saja bersikeras utuk mengajar anak-anak, saat dia wafat anak-anak itu merasa beruntung sekali mempunyai kesempatan untuk bertemu ke ibnu sina untuk terakhir kalinya karena saat akan dibawa ke rumah dia sudah kehilangan nyawa dan tidak dapat ditolong.[2]

Buku-buku yang pernah dikarang oleh Ibnu Sina, dihimpun dalam buku besar Essai de Bibliographie Avicenna yang ditulis oleh Pater Dominician di Kairo dan diantara beberapa karya Ibnu Sina ialah :

  1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan). Dalam kitab ini, Ibnu Sina menjelaskan cara-cara pengobatan yang pernah dilakukan oleh para dahulu hingga zamannya.[3]
  2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan). Kitab ini adalah karangan Ibnu Sina yang terpenting tentang falsafah, dan terdiri atas 4 bagian: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ilahiyyat).[4]
  3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
  4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
  5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
  6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
  7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
  8. Fi ad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi “Liber de Mineralibus” yakni tentang pemilikan (mimeral).
  9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf: risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf—Bidang Sastra Arab
  10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia – Bidang syair dan prosa
  11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. Cerita-cerita roman fiktif
  12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik
  13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
  14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
  15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.an sejati
  16. Al Insyaf tentang keadil
  17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan. Kitab ini adalah yang terakhir ditulis oleh Ibnu Sina dan yang paling indah dalam ilmu hikmah. Isinya mengandung perkataan mutiara dari pelbagai ahli pikir dan rahasia yang berharga, yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.[5]
  18. Sadidiya, tentang kedokteran.
  19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
  20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
  21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).[6]

Gagasan Pendidikan Ibnu Sina

Menurut Ibnu Sina, pendidikan atau pembelajaran itu menyangkut seluruh aspek pada diri manusia, mulai dari fisik, mental maupun moral.

Menurut Ibnu Sina “Pendidikan tidak boleh mengabaikan perkembangan fisik dan apapun yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik seperti olahraga, makanan, minuman, tidur, dan kebersihan,”

Dalam pandangan Ibnu Sina,  pendidikan tak hanya memperhatikan aspek moral, namun juga membentuk individu yang menyeluruh termasuk, jiwa, pikiran dan karakter.  Menurutnya, pendidikan sangat  penting diberikan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi masa dewasa.

Ibnu Sina mengungkapkan, seseorang harus memiliki profesi tertentu dan harus bisa berkontribusi bagi masyarakat. Ibnu Sina juga mengungkapkan pendidikan itu harus diberikan secara berjenjang berdasarkan usia.

1. Masa lahir-2 tahun

Dalam pandangan Ibnu Sina, pendidikan harus dilakukan sejak dini, yakni sejak seseorang terlahir ke muka bumi. Pendidikan bagi bayi yang baru lahir, kata dia, bisa diberikan melalui berbagai tahapan kegiatan mengasuh bayi seperti menidurkan, memandikan, menyusui, dan memberikan latihan-latihan ringan bagi bayi.

Menurutnya, bayi harus ditidurkan di ruang yang suhunya sejuk; tidak terlalu dingin dan terlalu panas. Ruang tidur bayi juga harus remang-remang, jangan terlalu terang. Menurut dia, sang ibu harus memandikan bayinya lebih dari satu kali dalam sehari, dia juga harus menyusui anaknya sendiri, dan menentukan takaran menyusui yang dibutuhkan bayi.

Ketika bayi sudah memiliki gigi, maka mulai  diperkenalkan dengan memakan makanan baru yang lebih kuat dari pada ASI. Bayi bisa memakan roti yang dicelupkan dengan air minum, susu, maupun madu. Lalu makanan tersebut diberikan kepada bayi dalam jumlah kecil dan sedikit demi sedikit dia disapih. Sebab penghentian pemberian ASI tidak bisa dilakukan secara drastis.

2. Masa kanak-kanak

Menurut Ibnu Sina, masa kanak-kanak merupakan saat pembentukan fisik, mental, dan moral. Oleh karena itu terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, anak-anak harus dijauhkan dari pengaruh kekerasan yang bisa mempengaruhi jiwa dan moralnya. Kedua, untuk perkembangan tubuh dan gerakannya, anak-anak harus dibangunkan dari tidur. Ketiga, anak-anak tak diperbolehkan langsung minum setelah makan, sebab makanan itu akan masuk tanpa dicerna terlebih dahulu. Keempat, perkembangan rasa dan perilaku anak-anak perlu diperhatikan.

Ibnu Sina menganggap anak-anak harus mendengarkan musik, sehingga saat berada dalam ayunan mereka tertidur dengan suara musik. Hal itu akan mempersiapkan anak mempelajari musik, selanjutnya dia akan tertarik untuk mempelajari puisi yang sederhana dan akhirnya membuatnya menghargai nilai-nilai kebenaran.

3. Masa Pendidikan

Pada masa ini, anak-anak sudah berusia antara 6 hingga 14 tahun. Pada masa ini, anak-anak harus mempelajari prinsip kebudayaan Islam dari Alquran, puisi-puisi Arab, kaligrafi, juga para pemimpin Islam.

Menurut Ibnu Sina, pendidikan pada masa ini harus dilakukan dalam kelompok-kelompok, bukan perseorangan. Sehingga siswa tidak merasa bosan. Selain itu, mereka bisa belajar mengenai arti persahabatan.

4. Masa usia 14 tahun ke atas

Pada masa remaja ini, mereka dipersiapkan untuk mempelajari tipe pelajaran tertentu supaya memiliki keahlian khusus. Selain itu, mereka harus mempelajari pelajaran yang sesuai dengan bakat mereka. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk mempelajari dan bekerja di bidang yang tidak mereka inginkan dan mereka pahami. Namun pelajaran dasar harus diberikan kepada mereka.

Ibnu Sina menganggap pendidikan pada anak-anak maupun remaja harus diberikan karena pendidikan itu memiliki hubungan yang erat antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Yang paling penting, setiap pelajar harus menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu yang akan mendukung pekerjaannya di masa depan.[7]

Dari sumber lain ditulis, menurut Ibnu Sina bila seseorang anak telah berumur 6 tahun maka wajiblah diserahkan kepada guru (pendidik).[8]

Pendapat Ibnu Sina didasarkan pada alasan bahwa perasaan sosial anak dapat berkembang lagi setelah memasuki sekolah. Oleh karena itu tanggung jawab keluarga mempersiapkan perasaan anak-anak sebelum memasuki sekolah. Kehidupan keluarga yang bahagia lahir batin akan memberikan ciri-ciri hidup kejiwaan dan pribadi anak yang memudahkan berkembangnya sikap penyesuaian sosial anak di sekolah dan di luar sekolah.[9]

Implikasi Gagasan Pendidikan Ibnu Sina terhadap Pendidikan Islam

Segala sesuatu kebijakan atau gagasan terlepas dari apakah kebijakan itu bermanfa’at atau tidak, pasti mempunyai dampak bagi perkara tersebut. Pemakalah akan memberikan dampak-dampak dari gagasan Ibnu Sina ini pada pendidikan Islam pada masa kini, diantaranya :

  1. Dibaginya pendidikan dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan kemampuan intelektual pada setiap tahapannya.
  2. Pendidikan tidak hanya mengedepankan akal pikiran semata, akan tetapi harus meliputi seluruh aspek yang ada pada peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri membentuk insan kamil. Maka dibuatlah kurikulum-kurikulum yang tidak hanya mengembangkan aspek-aspek intelektual.
  3. Pengklasifikasian materi-materi yang akan diajarkan kepada peserta didik sesuai dengan tingkatan umur dan kemampuan intelektual peserta didik.
  4. Penjurusan-penjurusan dalam bidang-bidang tertentu sehingga peserta didik mempunyai keahlian tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M., 1978, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang,

Azra, Azyumardi, 1999, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Daudy, Ahmad,  1986, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang

Ghalib, Musthafa, 1979, Ibnu Sina, Beirut: Maktabatu al-Hilal.

http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina

http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/


[1] Musthafa Ghalib, Dr., Ibnu Sina, (Beirut: Maktabatu al-Hilal, 1979), hal. 17

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina

[3] Ahmad Daudy, Dr., Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), hal. 69

[4] Ibid., hal. 68

[5] Ibid., hal. 69

[6] http://www.rumahislam.com/tokoh/3-ilmuwan/74-ibnu-sina.html

[7]http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/

[8] H.M. Arifin M. Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 78

[9] Azyumardi Azra, MA., Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 81